Tuesday, October 9, 2012

KURIKULUM



A.      PENGERTIAN KURIKULUM
Di Indonesia istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi populer sejak tahun lima puluhan, yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Kini istilah itu telah dikenal orang di luar pendidikan. Sebelumnya yang lazim digunakan adalah “rencana pelajaran” pada hakikatnya kurikulum sama sama artinya dengan rencana pelajaran. Beberapa tafsiran lainnya dikemukakan sebagai berikut ini.
Kurikulum memuat isi dan materi pelajaran. Kurikulum ialah sejumlah mata ajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh siswa untuk memperoleh sejumlah pengetahuan. Mata ajaran (subject matter) dipandang sebagai pengalaman orang tua atau orang-orang pandai masa lampau, yang telah disusun secara sistematis dan logis. Mata ajaran tersebut mengisis materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa, sehingga memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan yang berguna baginya.
Kurikulum sebagai rencana pembelajaran. Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa. Dengan program itu para siswa melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa, sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran. Dengan kata lain, sekolah menyediakan lingkungan bagi siswa yang memberikan kesempatan belajar. Itu sebabnya, suatu kurikulum harus disusun sedemikian rupa agar maksud tersebut dapat tercapai. Kurikulum tidak terbatas pada sejumlah mata pelajaran saja, melainkan meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan siswa, seperti: bangunan sekolah, alat pelajaran, perlengkapan, perpustakaan, gambar-gambar, halaman sekolah, dan lain-lain; yang pada gilirannya menyediakan kemungkinan belajar secara efektif. Semua kesempatan dan kegiatan yang akan dan perlu dilakukan oleh siswa direncanakan dalam suatu kurikulum.
Kurikulum sebagai pengelaman belajar. Perumusan/pengertian kurikulum lainnya yang agak berbeda dengan pengertian-pengertian sebelumnya lebih menekankan bahwa kurikulum merupakan serangkaian pengalaman belajar. Salah satu pendukung dari pengalaman ini menyatakan sebagai berikut:
“Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not (Romine, 1945,h. 14).”
Pengertian itu menunjukan, bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam ruang kelas saja, melainkan mencakup juga kegiatan-kegiatan diluar kelas. Tidak ada pemisahan yang tegas antara intra dan ekstra kurikulum. Semua kegiatan yang memberikan pengalaman belajar/pendidikan bagi siswa pada hakikatnya adalah kurikulum.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan  sebagai pedoman penyelenggaraan  kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. (Undang-Undang No.20 TH. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi. (Pasal 1 Butir 6 Kemendiknas No.232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa).
Kurikulum adalah serangkaian mata ajar dan pengalaman belajar yang mempunyai tujuan tertentu, yang diajarkan dengan cara tertentu dan kemudian dilakukan evaluasi. (Badan Standardisasi Nasional SIN 19-7057-2004 tentang Kurikulum Pelatihan Hiperkes dan Keselamatan Kerja Bagi Dokter Perusahaan).
Dari berbagai macam pengertian kurikulum diatas kita dapat menarik garis besar pengertian kurikulum yaitu:
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
B.       LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. (Bab IX, Ps.37). Pengembangan kurikulum berlandaskan faktor-faktor sebagai berikut:
1.             Tujuan filsafat dan pendidikan nasional yang dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan institusional yang pada gilirannya menjadi landasan dalam merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan pendidikan.
2.             Sosial budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat kita.
3.             Perkembangan peserta didik, yang menunjuk pada karekteristik perkembangan peserta didik.
4.             Keadaan lingkungan, yang dalam arti luas meliputi lingkungan manusiawi (interpersonal), lingkungan kebudayaan termasuk iptek (kultural), dan lingkungan hidup (bioekologi), serta lingkungan alam (geoekologis).
5.             Kebutuhan pembangunan, yang mencakup kebutuhan pembangunan di bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, hukum, hankam, dan sebagainya.
6.             Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang sesuai dengan sistem nilai dan kemanusiawian serta budaya bangsa.

C.      KOMPONEN UTAMA KURIKULUM
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu :
(1) Tujuan;
(2) Materi;
(3) Strategi,Pembelajaran;
(4) Organisasi Kurikulum Dan
(5) Evaluasi.

                                                                    

PERNIKAHAN BEDA AGAMA


Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membantu suatu keluarga atau rumah tangga. 
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dilakukan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hokum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hokum sangat penting bagi seseorang, karena menyangkut dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agama masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak bisa dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antara agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hokum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi social diantara seluruh warga Negara Indonesia yang pluralis agamanya.
Perkawinan adalah sah apabila menurut hokum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Perkawinan beda agama bisa diterima karena dapat mempererat kekerabatan antara satu agama dengan agama lain. Namun pada kenyataannya keadaan tersebut kurang adanya suatu penerimaan yang baik. Suatu perkawinan antara dua orang yang menganut agama yang sama tidak akan menimbulkan masalah, sebaliknya kedua calon suami istri yang menganut agama yang berbeda dan tetap mempertahankan agamanya masing-masing maka keadaan ini akan menimbulkan masalah, permasalahan-permasalahan yang biasanya muncul dalam perkawinan beda agama antara lain bagaimanakah proses penyesuaian diri terhadap perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam keluarga, apakah UU perkawinan memperbolehkan perkawinan beda agama yang hanya dilakukan (dicatat) dikantor catatan sipil sudah sah atau tidak, bagaimanakah menentukan agama bagi anak-anaknya nanti, dan pasangan beda agama yang akan menikah pada umumnya merasa ragu dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik dalam membina keluarganya kelak, juga persepsi masyarakat tentang perkawinannya yang berbeda agama. Semua kesepakatan sebelum melakukan perkawinan beda agama harus tercapai sehingga stress dan konflik yang mungkin tercapai sendiri mungkin dapat dihindari.
Ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda agama:
1.      Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti penyelundupan hukum, karena sesuangguhnya yang terjadi adalah hanya menyiasati secara hokum ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memelik agamanya masing-masing, cara ini sangat tidak disarankan.
2.      Berdasarkan putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 kantor catatan sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.

   Perkawinan
Undang-undang  Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menurut Departemen Agama Republik Indonesia menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.
Perkawinan merupakan pertalian hokum sebagai perrtahanan yang sah untuk jangka waktu selama mungkin antara pria dan wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan (dalam Tajudin, 1990) sementara itu Kartono, (1992) menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu peristiwa sepasang mempelai atau sepasang calon suami istri dipertemukan secara formal dihadapan penghulu atau kepada agama tertentu, saksi dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi sebagai suami istri dengan upacara-upacara dan ritual-ritual tertentu.
Mahkota (1993) menyebutkan bahwa perkawinan adalah bertemunya dua manusia berlainan jenis kelamin, pria dan wanita yang diwujudkan dalam kesatuan, kebersamaan wadah bersatu dan merupakan dwi tunggal bagi pria dan wanita yang harus dijalani secara nyata serta penuh tanggung jawab.
Para ahli mengemukakan pengertian perkawinan yang ditinjaunya didasarkan pada agama yang diakuinya di Indonesia yaitu:
  1. Agama Islam, Siddik (1983) menyatakan perkawinan adalah pertalian sah antara seorang laki-laki dengan perempuan yang hidup bersama atau (bersetubuh) yang tujuannya membentuk keluarga dan mewujudkan keturunan, serta mencegah perzinaan, dan menjaga ketentraman jiwa.
  2. Agama Katholik, menurut Kanon (dalam Martosudjito, 1985) menetapkan bahwa menurut hokum gereja perkawinan adalah perjanjian suci antara pria dan wanita untuk membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami istri serta pada kelahiran dan pendidikan anak.
  3. Agama Protestan, dikemukakan pendapat dari Tanya (1987) menyatakan nikah adalah suatu persekutuan badaniah dan rohaniah yang distabilkan (ordeined) Allah untuk suatu tujuan yang mulia dihadapan-Nya dan oleh sebab itu tidak boleh dipisahkan oleh tangan manusia.
  4. Agama Hindu, berdasarkan Kitab Manusiruriti (dalam Pudja, 1975) dinyatakan bahwa perkawinan bersifat religius dan obligatoir sifatnya karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang Putra (Putra yang menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put).
  5. Agama Budha, berdasarkan keputusan-keputusan Sangha Agung Indonesia tentang hukum perkawinan, tata cara perkawinan dan tata cara kematian menurut hokum Budha, yang dikutip oleh Soeantrapaja (1989), bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri yang berdasarkan pada cinta kasih (metta), kasih saying (Karuna) dan rasa sepenanggungan (Rumah Tangga) yang bahagia diberkahi oleh Sang Hyang Adi Budha atau Tuhan Yang Maha Esa, 
 Dari berbagai rumusan tentang pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan, para ahli dan agama-agama yang diakui di Indonesia ternyata berbeda satu sama lain sebagai akibat dari perbedaan segi pandang mereka. Berdasarkan definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan pada dasarnya merupakan perpaduan antara dua orang individu yang berlainan jenis (pria dan wanita) dalam suatu ikatan kesepakatan, perjanjian atau persetujuan secara lahir batin disahkan menurut UU, hokum, agama, dan kepercayaannyadengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 Pengertian Perkawinan
Keluarga terbentuk jika terdapat ikatan perkawinan antar pria dan wanita. Artinya dalam sebuah perkawinan terdapat dua individu yang berbeda jenis, serta cirri-ciri kepribadiaannya yang mengikatkan diri secara sah menurut hokum dan aturan yang berlaku dan selanjutnya hidup bersama. Menurut pendapat Pyah (2000) keluarga merupakan suatu ikatan antara orang tua dan anak  yang satu sama lain memerlukan cinta, perhatian, dan kasih saying.
Berdasarkan beberapa pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah kumpulan orang yang bertempat tinggal bersama yang satu sama lain memerlukan perhatian dan kasih sayang serta terikat oleh perkawinan yang sahmenurut hukum dan agama, keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak..

Tujuan Perkawinan
Perkawinan sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi setiap orang mempunyai tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi atau latar belakang terjadinya perkawinan tersebut. Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Antara suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing pasangan dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan spiritual. Suatu perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dapat diartikan bahwa perkawinan itu harus berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja sehingga pemutusan suatu perkawinan karena sebab lain dari kematian diberikan pembatasan yang cukup ketat.Tujuan utama suatu perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan (anak) karena keluarga yang bahagia dan kekal erat kaitannya dengan keturunan sehingga kehidupan suami istri dan rumah tangga akan memperoleh ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan.
Tujuan Perkawinan menurut agama-agama yang diakui di Indonesia yaitu:
  1. Agama Islam, menurut pendapat Ichsan (1987) bahwa tujuan perkawinan sebagai perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.
  2. Agama Katholik, menurut pendapat dari Konigsmann (1987) menyatakan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk mendapatkan anak dan hak atas persetubuhan betul yang sesuai dengan isi perjanjian perkawinan.
  3. Agama Protestan, menurut pendapat dari Tanya (1987) mengemukakan melalui nikah, maka mukjizat penciptaan kehidupan dapat berkesinambungan, dua orang menjadi satu dalam suatu ikatan hidup baru. Hal inilah pemenuhan tujuan nikah diantara dua orang yang saling mencintai dan memperoleh keturunan hanyalah salah satu segi dari tujuan nikah. Segi ini adalah penting dalam kehidupan itu sendiri.
  4. Agama Hindu, menurut pendapat dari Pudja (1975) menyatakan bahwa tujuan utama dari perkawinan adalah untuk memperoleh anak (putera) yang dapat menyelamatkan keluarganya dari neraka yang disebut neraka Put.
  5. Agama Budha, dalam hal ini akan dikemukakan nasehat perkawinan agama Budha yang dikutip dari buku Nasehat Perkawinan Agama Budha, Departemen agama RI bahwa tujuan perkawinan adalah mencapai rumah tangga dan keluarga yang bahagia.Agar hal ini dapat tercapai, maka pasangan suami istri harus memiliki keyakinan (Sudda) yang sebanding, tat susila (Sila) yang sebanding dan kebijaksanaan (Panna) yang sebanding. Namun dalam suatu perkawinan tidak semua pasangan suami istri akan mencapai kebahagiaan, mengingat ada pula perkawinan yang tidak membahagiakan.
 Dalam pembahasan mengenai tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan dan ajaran-ajaran agama yang ada di Indonesia walaupun kelihatannya berbeda satu sama lain tetapi pada prinsipnya dalam beberapa hal mempunyai persamaan. Sama-sama membentuk keluarga menurut ketentuan hukum agama atau syari’at, untuk memperoleh keturunan (anak) dan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal serta tidak berakhir dengan perceraian.

 Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama terjadi apabila seorang pria dan wanita yang berbeda agama melakukan perkawinan dengan tetap mempertahankan agama masing-masing. Perkawinan beda agama menurut Abdurrahman (1978) adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut Rusli dan Tama (1986) perkawinan beda agama merupakan ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.Mandra dan Artadi (1988) menyatakan perkawinan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaan agamanya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Dari definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan beda agama adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.

Pandangan Agama-agama Tentang Perkawinan Beda Agama
Terrjadinya perkawinan beda agama membawa pandangan sendiri-sendiri bagi agama-agama yang ada di Indonesia yaitu:
  1. Pandangan agama Islam, pada prinsipnya agama islam tidak memperkenankannya. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 221 dengan tegas melarang perkawinan antara orang Islam dengan orang Musyrik. Akan tetapi dalam pengertian antara penganut agama Islam dan bukan agama Islam, hanya bagi laki-laki Islam dengan wanita ahli kitab (Katholik dan Protestan) saja yang dibolehkan. Perkawinan ini pun baru dapat dilaksanakan bila mempelai laki-laki yang Islam benar-benar dominan tidak tergoda untuk mengikuti agama istrinya dan mampu untuk mendidik anak-anaknya menjadi muslim. Sebaliknya hukum islam melarang perkawinan antara wanita yang beragama Islam dengan laki-laki yang bukan Islam disebabkan karena wanita Islam dalam suatu perkawinan berada dibawah kekuasaan suaminya, maka dikawatirkan wanita Islam itu akan murtad dari agama Islam dan mengikuti agama suaminya.
  2. Pandangan agama Katholik, salah satu halangan yang mengakibatkan perkawinan tidak sah yaitu perbedaan agama. Bagi Gereja Katholik menganggap bahwa perkawinan antara seorang yang beragama Katholik dengan yang bukan Katholik dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik dianggap tidak sah dan tidak ideal. Menurut pandangan agama Katholik bahwa setiap perkawinan termasuk perkawinan antar agama (dan salah satunya bukan Katholik) hanya dianggap sah apabila dilakukan dihadapan Uskup, Pastor Paroki, Imam. Hal ini dapat dimmaklumi karean agama Katholik memandang perkawinan sebagai suatu sakralmen, sehingga kalau ada perkawinan antar agama (salah satu pihak Katholik) dan tidak dilakukan menurut agama Katholik maka perkawinan itu dianggap tidak sah.
  3. Pandangan agama Protestan, pada prinsipnya agama protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama. Hal ini disebabkan tujuan utama perkawinan itu untuk mencari kebahagiaan. Kebahagiaan akan sulit tercapai kalau suami dan istri tidak seiman. Walaupun demikian agama Protestan tidak melarang penganutnya untuk kawin dengan orang yang tidak beragama Protestan. Gereja Protestan memberikan kebebasan kepada penganutnya untuk memilih apakah hanya menikah Kantor Catatan Sipil atau diberkati di gereja atau mengikuti agama dari calon suami atau istri. Hal ini disebabkan karena gereja Protestan pada umumnya mengakui sahnya perkawinan menurut adapt atau pun agama yang bukan Protestan.
  4. Pandangan agama Hindu, menurut Pudja (1975), suatu perkawinan batal karena tidak memenuhi syarat bila perkawinan itu dilakukan menurut Hukum Hindu tetapi tidak memenuhi syarat untuk pengesahannya. Misalnya mereka tidak menganut agama yang sama pada saat upacara perkawinan dilakukan menurut hukum agama Hindu. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu maka wajib disucikan sebagai penganut agama Hindu karena kalau calon mempelai yang bukan hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan akan melanggar ketentuan dalam Seloka V – 89 Kitab Manawadharmasastra. Perkawinan antar agama dimana salah satu calon mempelai beragama Hindu tidak dibolehkan dan Pedande atau Pendeta menolak untuk mengesahkan perkawinan tersebut.
  5. Pandangan agama Budha, perkawinan antar agama yang salah seorang mempelai mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan. Asala pengesahan perkawinannya dilakukan menurut tata cara agama Budha. Calon mempelai yang tidak beragama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “Atas Nama Sang Budha. Dharma dan Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha. Agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi kalau ada perkawinan antara penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha.

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan adanya larangan dari agama-agama tertentu terhadap penganutnya untuk mengadakan perkawinan dengan agama lain yaitu agama Islam, Katholik, dan Hindu. Akan tetapi ada juga agama yang membolehkan penganutnya melakukan perkawinan beda agama dengan segala ketentuannya yaitu agama Budha dan Protestan.

Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama
Undang-undang Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Akibatnya dalam pelaksanaan perkawinan beda agama selalu mengalami kesulitan dan akan timbul perbedaan penafsiran tentang bagaimana cara pelaksanaan dan pencatatan perkawinan beda agama. Kesulitan yang sering dijumpai yaitu kedua calon mempelai tidak ada yang bersedia untuk beralih agama atau menundukkan diri pada hukum agama suami atau istrinya pada saat perkawinan dilangsungkan. Mengatasi kesulitan ini bias saja masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya dan perkawinan hanya dilakukan di Kantor Catatan Sipil.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa macam-macam cara pelaksanaan perkawinan beda agama sebagai berikut:
  1. Salah satu pihak beralih agama mengikuti agama suami atau istri. Calon istri beralih agama mengikuti agama calon suaminya atau sebaliknya. Ada beberapa pasangan yang melangsungkan perkawinan, salah satu pihak telah beralih mengikuti agama suami atau istrinya akan tetapi beberapa waktu kemudian pihak yang tadinya beralih agama lalu kembali kepada agama yang dianut sebelumnya. Sebenarnya ada penyelundupan hukum, untuk mengadakan perkawinan maka salah satu pihak secara pura-pura beralih agama namun setelah berlangsungnya perkawinan maka beralih kembali kepada agama yang dianut sebelumnya.
  2. Salah satu pihak menundukkan diri pada hukum agama suami atau istri. Kedua calon suami istri masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya, akan tetapi pada saat perkawinan dilangsungkan salah satu pihak harus menundukkan diri pada hukum agama suami atau istri baru perkawinan dapat dilangsungkan. Penundukan diri ini bias terjadi istri mengikuti hukum agama suami atau sebaliknya. Dari pada peralihan agama itu dilakukan secara pura-pura lebih baik salah satu pihak menundukkan diri pada hukum agama suami istri pada saat perkawinan berlangsung.
  3. Perkawinan hanya dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Pwerkawinan hanya dilakukan di Kantor Catatan Sipil artinya kedua calon suami istri tetap mempertahankan agama yang dianutnya sehingga hanya dilakukan perkawinan sipil. Perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh suami istri. Lebih tepat dikatakan bahwa Kantor Catatan Sipil hanya berfungsi sebagai suatu istansi yang hanya meresmikan perkawinan kedua alon suami istri.
 Pengertian Keluarga
Keluarga sangat penting artinya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak karena keluarga adalah fungsi lingkungan yang pertama kali dikenal oleh anak sejak dilahirkan. Menurut Sumarni (1997) fungsi keluarga adalah untuk membentuk perkembangan psikologis anak, tempat untuk bertukar pikiran dan sebagai media konsultasi antara anggota keluarga. Sementara itu Mears dan Gatchels (dalam Sholihatun, 1998) menjelaskan adanya empat fungsi keluarga meskipun tidak membedakan fungsi-fungsi tersebut, menurut perspektif anak ataupun orang tua, tapi dari masing-masing fungsi tersebut dapat dipahami fungsi yang ditujukan untuk orang tua dan anak.

Fungsi keluarga
Keluarga sangat penting artinya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak karena keluarga adalah fungsi lingkungan yang pertama kali dikenal oleh anak sejak dilahirkan. Menurut Sumarni (1997) fungsi keluarga adalah untuk membentuk perkembangan psikologis anak, tempat untuk bertukar pikiran dan sebagai media konsultasi antara anggota keluarga, sementara itu Mears dan Gatchels (dalam Sholihatun, 1998) menjelaskan adanya empat funsi keluarga meskipun tidak membedakan fungsi-fungsi tersebut, menurut perspektif anak ataupun orang tua, tapi dari masing-masing fungsi tersebut dapat dipahami fungsi yang ditujukan untuk orang tua dan anak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa fungsi keluarga yang paling utama bagi anak yang merupakan sumber identifikasi dalam berperilaku, memberikan perlindungan baik fisik maupun psikis.





















TEKNIK PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA


Dalam diskusi Badan Litbang Kehutanan tanggal 8 Agustus 2008 yang dihadiri Menteri Kehutanan H. M.S. Kaban, pakar dari IPB serta Litbang, dibahas berbagai sistem silvikultur dalam pengelolaan hutan, direkomendasikan penerapan multisistem silvikultur pada unit pengelolaan hutan produksi (IUPHHK). Diskusi ini akan dilanjutkan pada tanggal 23 Agustus 2008 di Institut Pertanian Bogor. Multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu IUPHHK dan merupakan multi usaha. Multisistem silvikultur ini bertujuan untuk mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. Rekomendasi ini didasarkan pada Permenhut No. P.30/Menhut-II/2005 yang diperkuat dengan PP. No.3/2008 yang menyatakan bahwa dalam satu unit pengelolaan hutan produksi, baik dalam bentuk IUPHHK-HA maupun IUPHHK-HT dapat digunakan lebih dari satu sistem silvikultur (multisistem silvikultur).
Multisistem silvikultur merupakan upaya optimalisasi pemanfaatan areal hutan, sehingga seluruh bagian areal hutan produksi, baik yang berupa hutan alam yang masih potensial maupun hutan yang sudah rusak, dapat dikelola sesuai dengan sistem silvikultur yang tepat. Kombinasi beberapa sistem silvikultur ini akan mempunyai beberapa kelebihan.
Dengan sistem silvikultur TPTI, hutan alam akan menghasilkan berbagai jenis kayu yang mempunyai nilai kompetisi tinggi dan sangat aman dari sisi ekologis. Produksi TPTI merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka panjang. Dengan sistem TPTJ atau Silin, hutan alam akan menghasilkan kayu yang lebih produktif dan bernilai tinggi terutama dari hasil tanaman di jalur antara, dan cukup aman dari aspek ekologi. Produksi dari TPTJ/TPTII/Silin merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka menengah atau sedang. Dengan sistem THPB, hutan yang rusak dapat direhabilitasi dan ditingkatkan produktifitasnya. Produksi dari THPB merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka pendek. Keuntungan dari sisi cashflow, pengelolaan hutan menggunakan multisistem silvikultur akan lebih ancar sehingga akan lebih menjamin kelayakan usaha dalam bisnis kehutanan. Jaminan keamanan kawasan hutan juga akan menjadi lebih mantap karena pengelolaan hutan menjadi optimal dan menyeluruh pada semua bagian hutan.
Keuntungan multisistem silvikultur pada IUPHHK-HA dari sisi produktifitas, pada areal hutan alam yang efektif untuk produksi dapat dipilah menjadi areal yang layak untuk TPTI dan areal yang layak untuk Silin/TPTJ, misalnya 60% untuk TPTI dan 40% untuk Silin/TPTJ. Dibandingkan pada IUPHHK-HA, penggunaan multisistem silvikultur pada IUPHHK-HT dari sisi produktifitas per-satuan luas tidak meningkatkan volume kayu yang dapat dimanfaatkan, namun variasi jenis kayu yang dihasilkan lebih beragam, yaitu dari jenis tanaman yang dikembangkan dan jenis kayu dari hutan alam.
Ke depan, masing-masing unit pengelola hutan produksi perlu melakukan penelitian dan pengembangan yang lebih mendalam agar sesuai dengan kondisi site spesifik areal hutan yang dikelolanya. Selanjutnya perlu dibuat petunjuk teknis atas efektifitas peraturan multisistem silvikultur. Bagi IUPHHK yang baru, pengelolaannya wajib menggunakan mulisistem silvikultur, sedangkan untuk yang sudah berjalan segera menyusun RKUPHK yang berdasarkan multisistem silvikultur.

Keanehan dalam pengelolaan hutan di Indonesia telah muncul ketika terbitnya Peraturan Perundangan-undangan (Perpu) No. 1 Tahun 2004. Perpu tersebut berhasil mencari celah terhadap Undang-undang No. 41 Tahun 1999 pasal 38 ayat 4 yang melarang penambangan terbuka di hutan lindung. Pada pasal 83 ayat A dengan jelas melegalkan kegiatan penambangan terbuka di hutan lindung. Kehadiran Perpu tersebut telah menghilangkan 71 juta ha lahan hutan. Bahkan Sawit Watch (2008) mencatat laju kerusakan hutan sepanjang 2005 hingga 2006 mencapai 2,76 juta ha.
Kelahiran PP No. 2/2008 menarik untuk dilihat dari perspektif ekonomi. Sebagaimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa keluarnya PP tersebut bukan berarti pemerintah memperjualbelikan hutan.
Semangat dari peraturan itu adalah untuk mengatur perusahaan yang sudah memiliki izin pertambangan di kawasan hutan wajib memelihara, merehabilitasi, menghutankan, atau menghijaukan kembali hutan yang rusak akibat penambangan. Menurut Presiden, kebijakan tersebut merupakan lanjutan dari apa yang dilakukan pemerintah sebelumnya. Tujuannya agar hutan makin lestari, mendatangkan penerimaan negara untuk ekonomi, untuk kesejahteraan rakyat.
Namun, hal ini akan menjadi aneh. Entah teori ekonomi apa yang dianut dan dijalankan pemerintah, dengan tak menghargai elemen kekayaan alam yang terkandung di perut bumi serta fungsi hutan lindung. Mestinya pemerintah tidak hanya berharap dari pungutan hasil tambang, tapi juga menghargai nilai guna tanahnya. Nilai guna tanah hutan lindung adalah nilai keselamatan rakyat yang jauh lebih mahal dibandingkan nilai ekonomi.
Berdasar data Greenomics, Indonesia mendapatkan tarif sewa dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP) untuk 13 perusahaan tambang di hutan lindung itu hanya sebesar Rp 2,78 triliun per tahun. Itu hanya 3,96 persen dari total potensi kerugian yang akan ditimbulkan akibat aktivitas tambang terbuka yang diperkirakan mencapai angka Rp 70 triliun per tahun. (Suara Pembaruan, 25 Februari 2008)

Masyarakat dan Hutan Indonesia

Sebelum hadirnya kebijakan PP No. 2/2008, masyarakat hutan Indonesia telah mengalami ketidakberdayaan. Petani hutan yeng terkelompok dalam komunitas-komunitas adat dan lokal, tidak dapat berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Padahal kehidupan keseharian para petani selalu bersinggungan dengan hutan sebagai sumber kayu bakar, tanaman obat, madu, buah-buahan, padi dan lain-lain. Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967 pun tidak memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat hutan Indonesia.
Sepertinya akan sulit mencari catatan tentang kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatur kepentingan petani hutan. Sebagai contoh, sedari tahun 1980-an masyarakat petani hutan di Padang Cermin, Lampung Selatan, telah mengusulkan kawasan Gunung Betung untuk dijadikan kawasan pengelolaan masyarakat namun selalu mendapat penolakan dari pemerintah daerah maupun pusat (Departemen Kehutanan RI). Beberapa daerah lainnya, petani hutan terusir dari kawasan tempat hidup. Indonesia sendiri, memiliki sekitar 1.800 desa yang berbatasan dengan 14 kawasan konservasi di 5 pulau besar di Indonesia.
Konflik-konflik terbuka antara petani dan petugas kehutanan mencuat sebagai reaksi dan perwujudan kebingungan masyarakat terhadap tempat hidup mereka. Pengusiran masyarakat adat Moronene di Nusatenggara dari kawasan hutan, bagaimana lahan dan tanaman kopi petani dirusak karena petani dianggap masuk ke kawasan hutan konservasi. Masyarakat adat Lore Lindu di Sulawesi Tengah sudah beberapa kali mengalami “resettlement”. Masyarakat Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara, ladang-ladang mereka dibakar aparat kehutanan dan pemerintah karena pokok-pokok pohon jati yang menggiurkan, sehingga kawasan yang turun-temurun itu diolah masyarakat Kontu dianggap kawasan lindung yang pengawasannya di bawah kehutanan dan pemerintah daerah. Dan banyak kasus “resettlement” dilakukan dengan berbagai alasan.
Kondisi memprihatinkan juga terjadi pada petani hutan di pulau Jawa. Awang (2006) mengemukakan bahwa seorang petani hutan di pulau Jawa memiliki lahan hanya 0,2 hektar, padahal luas minimum untuk pemenuhan kebutuhan hidup per-KK (kepala keluarga) di Jawa membutuhkan 0,5 hektar.
Lindung dan Dilindungi
Tarik menarik kepentingan dalam pengelolaan kawasan hutan di Indonesia telah menimbulkan efek kebingugan. Esensialnya Departemen Kehutanan (Deptan) melalui UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan melarang penambangan dengan pola terbuka di kawasan hutan lindung. Pada ayat 3 dan 4 pasal 38 secara tegas menyebutkan bahwa di kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola penambangan terbuka. Pola pertambangan terbuka dimungkinkan di kawasan hutan produksi dengan ketentuan khusus dan secara selektif, antara lain melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
Kehadiran pasal tersebut menjadi begitu penting, mengingat fungsi kawasan lindung dan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan. Kerusakan hutan lindung dan kawasan konservasi berdampak luas, di musim kemarau akan menyebabkan kekeringan, dan di musim hujan dapat menyebabkan tanah longsor dan banjir, terutama bila curah hujannya tinggi. Musibah bencana alam tersebut berdampak pula pada menurunnya kegiatan ekonomi masyarakat dalam waktu yang lebih panjang. Selain itu, limbah pembuangan dari kegiatan pertambangan dalam jangka panjang sering menjadi masalah lingkungan yang dampaknya cukup besar.
Kemunculan PP Nomor 2 Tahun 2008 di awal Februari lalu semakin membuat nasib kehutanan Indonesia di ujung kehancuran. Semakin banyak investor tertarik untuk mendapat izin pertambangan karena tidak perlu lagi repot-repot mencari lahan pengganti (konversi) seperti ketentuan sebelumnya. Mereka cukup membayar kompensasi lahan, yang menurut perhitungan besarnya Rp 300 per meter persegi untuk setiap tahunnya.
Bencana secara ekologis akan sering kita jumpai dan bukan hanya itu, benih-benih potensial meluasnya skala konflik baik konflik vertikal antara rakyat yang bermukim di kawasan dan sekitar hutan dengan pemerintah dan perusahaan tambang maupun konflik horizontal yang terjadi diantara rakyat itu sendiri. Dengan demikian kemunculan PP ini akan semakin menyulitkan keberadaan hak-hak masyarakat adat dan lokal dari sumber daya hutan. Hal itu karena mekanisme dalam PP memungkinkan negara memakai tangan besi untuk mengambil alih lahan/hutan adat untuk dikonsesikan sebagai hutan kelola dengan hak sewa. Kekhawatiran itu sangat tidak berlebihan karena peraturan perundang-undangan tentang kehutanan memang tidak mengakui hutan-hutan adat karena semua hutan adalah milik negara. Negara melalui Departemen Kehutanan (Dephut) bisa mengambil alih sewaktu-waktu hutan adat atas nama undang-undang. Lalu, masih adakah keyakinan untuk mempertahankan PP No 2/2008? (*)

Pengelolaan hutan alami di Indonesia
kesadaran untuk memacu pembangunan ekonomi nasional dengan memanfaatkan sumberdaya alami yang tersedia yaitu migas dan hutan alami. Sejak saat itu, berdasarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA Tahun 1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN Tahun 1968) fihak swasta asing dan dalam negeri diundang berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya alami termasuk pengelolaan hutan. Negara mengeluarkan Hak Pengusahaan Hutan yang diubah namanya menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu sejak lahirnya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Sistem Pengelolaan Hutan produksi
Sistem-sistem silvikultur di hutan produksi di Indonesia secara umum dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:           

Sistem THPB
Sistem THPB merupakan sistem silvikultur yang paling tua, digunakan untuk membentuk tegakan hutan tanaman seumur. Pohon-pohon dalam hutan tanaman seumur, membesar bersamaan dengan ukuran pohon yang hampir seragam sehingga dapat (tidak harus) dipanen bersamaan dan diremajakan bersamaan lagi. Sistem ini bisa menghasilkan tanaman yang terdiri atas satu jenis (species) saja, disebut tegakan monokultur, bisa juga membentuk tegakan tanaman campuran (multi species). Tegakan hutan tanaman dibangun untuk membudidayakan jenis tanaman pohon yang diinginkan pasar. Produktivitas ekonomis hutan tanaman bisa sepuluh kali lebih tinggi daripada produktivitas ekonomis hutan alami. Sebagai contoh, karena terjepit oleh banyak pohon lain dalam hutan bekas tebang pilih di hutan alami produksi, pohon-pohon jenis komersial kerapatannya rendah dan hanya menghasilkan riap 1-2 m³/ha.th. Sedangkan hutan tanaman merantimerah diperhitungkan dapat mencapai riap 10-15 m³/ha.th. Hutan tanaman sering membudidayakan jenis-jenis pohon yang dapat cepat membesar (jenis bagur, fast growing tree species), karena perusahaan yang membudidayakannya ingin modalnya cepat kembali, dan
labanya dapat cepat diperoleh. Jenis-jenis hutan tanaman yang umum dijumpai dibudidayakan di Indonesia adalah: mangium (Acacia mangium), gmelina (Gmelina arborea), sengon (Falcataria moluccana), mahoni (Swietenia macrophylla), jati (Tectona grandis), tusam (Pinus merkusii).
Mengapa kawasan bekas tebang habis harus ditanami pohon baru, bukankah pohon tua selalu berbuah sehingga semai alami terdapat banyak, murah-meriah? Penanaman memang mahal dan berrisiko gagal, oleh karena itu kalaulah penanaman ingin dilakukan, maka penanaman yang mahal itu harus menggunakan bibit unggul hasil program pemuliaan pohon, agar tegakan yang terbentuk berikutnya adalah tegakan yang lebih produktif atau lebih tahan risiko gagal. Penanaman setelah tebang habis dilakukan karena dua alasan: (1) karena ingin mengganti jenis tanaman untuk tujuan tertentu, misalnya untuk menghasilkan kayu pulp, (2) ingin mengganti klon yang satu dengan klon lainnya hasil pemuliaan tanaman. Sistem silvikultur THPB terdiri atas perlakuan: penataan areal kerja, penyiapan lahan, pengadaan benih dan bibit, penanaman, pemeliharaan tanaman muda, pemeliharaan tegakan, dan pemanenan pohon tua sekaligus. Pemerintah Indonesia sering menyebut sistem THPB sebagai sistem silvikultur intensif.

Sistem THPA
Sistem tebang habis bisa digunakan tanpa penanaman, setelah diketahui benar bahwa bekas tebang habis tersebut dipenuhi secara merata oleh semai pohon jenis yang diinginkan. Sistem ini merupakan system silvikultur yang murah, ekstensif, dan bisa saja menghasilkan produktivitas yang tinggi dari hasil pembinaan permudaan alami.16 Mungkinkah sistem THPA digunakan di hutan alami Kalimantan misalnya? Di hutan alami Kalimantan terdapat permudaan alami jenis komersial dengan kerapatan 5.000-10.000 bt/ha. Dalam sstem THPA, para rimbawan dapat memilih 100-200 bt/ha pohon binaan untuk dipelihara dengan sebaik-baiknya, terutama
membebaskan pohon-pohon binaan dari terkaman gulma. Dengan demikian penerapan sistem THPA di Indonesia sangat memungkinkan. Tetapi sampai saat ini belum pernah dilakukan.

Sistem TPTI
Hutan alami fungsi produksi di Indonesia dikelola dengan keinginan mempertahankan bentuk alaminya sebagai hutan alami campuran tidak seumur, yaitu berisi keanekaragaman hayati tinggi, dan berisi semai, pancang, tiang dan pohon. Bentuk hutan demikian hanya dapat dicapai dengan sistem tebang pilih. Hutan alami produksi diusahakan dengan sistem tebang pilih juga karena alasan ekonomis sebagai berikut:
(a) hutan alami berisi pohon kecil dan besar, sedangkan kayu yang laku dijual hanya kayu berukuran besar saja, sehingga dipanen dengan cara tebang pilih
(b) hutan alami berisi berratus jenis tumbuhan, sedangkan yang laku dijual hanya kayu dari beberapa jenis pohon saja, sehingga harus dipanen dengan cara tebang pilih,
c) hutan alami berisi kayu baik dan kayu cacat karena terlampau tua dan tidak dipelihara, sedangkan kayu yang laku hanya kayu yang mulus saja, dengan demikian panen harus menggunakan cara tebang pilih, Sistem tebang pilih di Indonesia dikeluarkan pemerintah pada tahun 1972 dengan nama Sistem Tebang
Pilih Indonesia (TPI), yang kemudian direvisi isi dan namanya pada tahun 1989 menjadi Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dan direvisi lagi pada tahun 1993 dengan nama tetap Sistem TPTI yang masih berlaku sampai tahun 2005 ini. Sistem TPTI diberlakukan di hutan alami tanah kering, hutan rawa, hutan rawa gambut, dan hutan eboni.

Sistem TPTII
Karena hutan alami produksi bekas tebang pilih menjadi sasaran konversi menjadi lahan perkebunan dan perambahan, maka Departemen Kehutanan mempromosikan pembangunan hutan tanaman meranti di hutan alami pada tahun 1997. Tujuan penanaman meranti di hutan alami adalah untuk meningkatkan motivasi pemilik perusahaan untuk memelihara hutan alami bekas tebangan, dan agar masyarakat luas sekitar hutan menghormati keberadaan perusahaaan yang menanami hutannya.

TEORI MODERNIISASIPEMBANGUNAN SEBAGAI MASALAH INTERNAL


TEORI MODERNIISASIPEMBANGUNAN SEBAGAI MASALAH INTERNAL
A.           PEMBAGIAN KERJA SECARA INTERNASIONAL
 Teori pembagian kerja secara internasional merupakan teori yang dianut, para ahli ekonom, termasuk mereka yang punya posisi penting dalam menentukan kebijakan perdagangan luar negeri sebuah negara, mengikuti teori ini. Teori-teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa setiap negara harus melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keuntunggan komparatif yang dimiliki.
Teori Pembagian Kerja Secara internasional juga menyatakan bahwa perdagangan internasional akan menguntungkan semua pihak. Harga barang akan turun mencapai titik terendah bila terjadi perdaganga bebas. Missal kemajuan teknologi di Negara-negara industry akan mengakibatkan produksi jadi berlimpah dan murah.
Pada akhirnya seperti yang dikatakan oleh Tudaro, pembangunan yang didasarkan pada kemandirian diri sendiri melalui isolasi sebagian atau keseluruhan, dianggap sebagaai pembangunan yang secara ekonomis kurang baik dibandingkan dengan pembangunan yang yang mengikut-serta-kan diri kedalam perdagangan internasional yang bebas dan tidak terbatas. Pembangunan yang meleburkan diri ke dalam kegiatan ekonomi dunia, pada dasarnya negara-negara yang ada saling tergantung dan akan lebih menguntungkan bila negara-negara saling mengisi kelemahan yang ada.

B.            TEORI MODERNISASI
Teori keuntungan komparatif yang dimiliki di dunia ini terdapat dua kelompok negara (1) negara yang memproduksi hasil pertanian, dan (2) negara memproduksi barang industri. Mengapa terjadi dua kelampak negara –yaitu negara-negara miskin biasanya merupakan negara pertanian dan negara kaya yang biasanya adalah negara industri? Pertama teori modrnisasi.. Kedua  kelmpok teori struktural.  Beberapa teori yang tergolong kedalam kelompok Teori Modernisasi. Teori-teori dipilih karena masing-masing teori dianggap mewakili satu kelompok pikiran tertentu
1.             TEORI HARROD-DOMAR: TABUNGAN DAN INVESTASI
Teori ini dikembangkan oleh Evsey Domar dan Roy Harrod. Kedua tokoh tersebut mencapai kesimpulan yang sama yaitu bahwa pertumbuhan ekonoimi ditentukan tingginya tabungan dan investasi. Kalau tabungan dan investasi rendah, pertumbuhan ekonomi masyarakat atau negara tersebut juga akan rendah. Rumus pembangunan Harrod Domar ini masih dipertahankan. Rumus ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah pembangunan pada dasarnya merupakan masalah menambahkan investasi modal. Masalah keterbelakangan adalah masalah kekurangan modal. Seperti yang dikatakan oleh blomstron dan Hettene.
Modifikasi-modifikasidari teori Harrod- Domar memang terus terjadi. Tetapi prinsipnya sama : kekurangan modal,tabungan dan investasi menjadi masalah utuma pembangunan. Satu teori yang merupakan modifikasi dari teori ini adalah,Teori Rostow tentang tingkat-tingkat pertumbuhan dan tinggal landas.  Pada intinya Rostow berbicara tentang usaha peningkatan tabungan dan investasi dalam memacu perkembangan sebuah masyarakat untuk mencapai posisi tinggal landas.
2.         MAX WEBER: ETIKA PROTESTAN
Teori Weber mempersoalkan masalah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya disekitarnya,khususnya nilai-nilai agama. Dia membahas bermacam gejala kemasyarakatan, misalnya tentang perkembangan bangsa-bangsa didunia,tentang kepemimpinan dan lain sebagainya. Salah satu topik yang penting bagi masalah pembangunan yang di bahas oleh Weber adalah tentang peran agama sebagai faktor yang menyebabkan munculnya kapitalisme di eropa barat dan Amerika Serikat.
Setelah melakukan analisa,  Weber mencapai kesimpulan bahwa salah salah satu penyebab utamanya negara di Eropa dan Amerika Serikat adalah apa yang disebutnya sebagai Etika Protestan. Etika protestan lahir di eropa melalui agama Protestan yang dikembangkan oleh Calvin. Calvin mengatakan bahwaseorang itu sudah ditakdirkan sebelumnya untuk masuk ke surga ataw neraka. Tetapi orang yang bersangkutan tentu saja tidak mengetahuinya. Karena itu, mereka menjadi tidak tenang, menjadi cemas, karena ketidak-jelasan nasibnya ini.
Salah satu cara untuk mengetahui apakah mereka akan masuk surga atau neraka adalah keberhasilan kerjanya didunia yang sekarang ini. Seorang berhasil dalam kerjanya didunia , hampir dapat dipastikan bahwa dia ditakdirkan untuk naik ke surga setelah dia mati nanti. Begitu juga sebaliknya. Mereka bekerja tanpa pamerih, artinya mereka bekerja bukan untuk mencari kekayaan material melainkan terutama mengatasi kecemasanya . inilah yang disebut Etika Protestan. Etika protestan oleh Weber yaitu, cara bekerja yang keras dan sungguh-sungguh, lepas dari imbalan materialnya. Etika protestan menjadi sebuah nilai tentang kerja keras tanpa pamerih untuk mencapai sukses.
3.        DAVID MCCLELLAND: DORONGAN BERPRESTASI ATAU N-ACH
McClellandseorang ahli pisikologi sosial mengambil kesimpulan bahwa untuk membuat sebuah pekerjaan berhasil , yang penting adalah sikap terhadap pekerjaan tersebut. McClelland tiba pada konsepnya yaitu, the need foor Achievement, kebutuhan atau dorongan untuk berprestas. Konsep ini disingkat dengan sebuah simbul n-Ach. Orang dengan n-Ach tinggi, yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi mengalami nkepuasan bukan karena mendapatkan imbalan dari hasil kerjanya, tetapi karena hasil kerja tersebut di anggapnya sangat baik. Ada kepuasan batin tersendiri kalau dia berhasil menyelesaikan pekerjaanya dengan sempurna. Imbalan material menjadi faktor sekunder.
McClelland mengatakan bahwa kalau dalam sebuah masyarakat ada banyak orang yang memiliki n-Ach tinggi, dapat diharapkan masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dari data dan hasil penilaian ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi selalu didahului oleh n-Ach yang tinggi dalam karya sastra yang ada ketika itu. Kalau karya-karya tersebut menunjukan  n-Ach rendah, pertumbuhan ekonominya kemudian menunjukan anggka yang menurun.
4.         W.W. ROSTOW : LIMA TAHAP PEMBANGUNAN
Rostow menguraikan teorinya tentang proses  pembangunan dalam sebuah masyarakat,bagi rostow pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yaitu dari masyarakat yang terbelakang ke masyarakat yang maju. Rostow membagi proses pembangunan menjadi lima tahap yaitu sebagai berikut;
a)      Masyarakat Tradisional
Produksi masih sangat terbatas. Masyarakat cenderung bersifat statis, dalam artian kemajuan berjalan dengan sangat lambat. Prodoksi dipakai untuk konsumsi,tidak ada investasi.
b)               Prokondisi untuk Lepas Landas
Keadaan ini terjadi karena adanya campur tangan dari luar, dari masyarakat yang sudah lebih maju. Perubahan ini tidak datang karena faktor-faktor internal masyarakat tersebut, karena pada dasarnya masyarakat tradisional tidak mampu untuk mengubah dirinya sendiri. Campurtangan dari luar ini menggoncangkan masyarakat tradisional itu. Di dalamnya mulai ada berkembang ide pembaharuan.
c)                Lepas Landas
Pada periode ini, tabungan dan investasi yang efektif meningkat dari 5% menjadi 10% dari pendapatan nasional, atau lebih. Juga industri-indusrti baru mulai berkembang sangat pesat. Keuntunganya sebagian besar ditanamkan kembali ke pabrik yang baru. Dalam pertaniaan, teknik-teknik baru juga tumbuh. Pertanian menjadi usaha komersial untuk mencari keuntungan, bukan sekedar untuk konsumsi. 
d)               Bergerak Ke Kedewasaan
Antara 10% sampai 20% dari pendapatan nasional selalu diinvestasikan kembali, supaya bisa mengatasi persoalan pertambahan penduduk. Industri berkembang dengan pesat. Negara ini memantapkan posisinya dalam perekonomiaan global. Barang-barang yang tadinya diimport sekarang diproduksikan di dalam neger, import baru menjadi kebutuhan,sementara ekspor barang-barang baru mengimbangi impor.
e)                Zaman konsumsi Masal yang Tinggi
Produksi industry mulai berubah, dari kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi yang tahan lama. Pada periode ini, investasi untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan yang paling utama. Sesudah taraf kedewasaan dicapai , surplus ekonomi akibat proses politik yang terjadi dialokasikan untuk kesejahteraan social dan penambahan dana social
Teori Rostow tentang lima tahap pertumbuhan ekonomi ini seperti halnya teori-teori modrenisasilainya, didasarkan pada dikotomi masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Rostow juga berbicara tentang keperluan akan adanya sekelompok wiraswastawan selain itu Rostow jua berbicara tentang kondisi-kondisi social yang melahirkan para wiraswastawan. Rostow menyebutkan dua kondisi social !) adanya elit baru dalam masyarakat yang merasa diingkari haknya oleh masyarakat tradisional di mana dia hidup, untuk mendapatkan prestise dan mencapai cara-cara konvensional yang ada. 2) masyarakat yang ada cukup fleksibel untuk memperbolehkan warganya mencari kekayaan sebagai jalan untuk menaikan statusnya dalam masyarakat.       
5.      BERT F HOSELITZ: FAKTOR-FAKTOR NON EKONOMI.
Faktor non-ekonomi ini disebut faktor kondisi lingkungan, yang dianggap penting dalam proses pembangunan. Hoselitz menekankan bahwa meski seringkali orang menunjukan bahwa masalah utama pembangunan adalah kekurangan modal, ada  masalah lain yang juga sangat penting, yaitu ktrampilan kerja tertentu, termasuk wiraswasta yang tangguh. Menurut Hoselitzpembangunan membutuhkan pemasokan dari beberapa unsur yaitu:
a)      Pemasokan modal besar dan perbankan
Pengalaman dari negara-negara eropa ketika menjalankan proses lepas landas menunjukan pentingnya lembaga-lembaga perbankan. Tanpa lembaga-lembaga seperti ini, modal besar yang ada sulit dikumpulkan sehingga menjadi sia-sia dan tidak menghasilkan pembangunan.
b)      Pemasokan tenaga ahli dan terampil
Perkembangan teknologi dan sains harus sudah melembaga sebelum masyarakat tersebut melakukan lepas landas. Inilah yang menjadi pengalaman di negara-negara Eropa. Hal ini sudah tersedia sebelum lepas landas. Hoselitz membicarakan lebih jauh tentang tenaga wiraswasta. Orang-orang ini muncul diperlukan sebuah masyarakat dengan kebudayaan tertentu. Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan yang beranggapan bahwa mencari kekayaan bukan merupakan hal yang buruk.
Hoselitz kemudiaan membahas adanya sekelompok minoritas yang disingkirkan oleh masyarakat kelompok marjinal ini mengalami proses anomia atau kehilangan pegangan nilai.
6.      ALEX INKELESDAN DAVID H. SMITH: MANUSIA MODREN
Alex Inkeles dan David Smith berbicara pentingnya faktor manusia sebagai komponen penting penopang pembangunan. Dalam pembangunan juga dibutuhkan manusia yang dapat mengembangkan sarana material tersebut supaya menjadi produktif. Apakah manusia modren itu? Kedua tokoh ini memberikan ciri-ciri manusia yang dimaksud, antara lain keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru, berorientasi ke msa sekarang dan masa datang, punya kesanggupan merencanakan, percaya bahwa manusia bisa menguasai alam dan bukan sebaliknya.
Dari hasil penelitiaan ya, Inkeles dan Smith, bahwa memang pendidikan adalah yang paling efektif untuk mengubah manusia. Dampak pendidikan tiga kali lebih kuat jika dibandingkan dengan usaha-usaha lainya. Kemudian pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa merupakan cara kedua yang efektif. Inkeles dan Smith kemudian menekankan faktor pengalaman kerja, terutama pengalaman kerja di pabrik, sebagai faktor yang berperan besar dalam mengubah manusia tradisional menjadi moderen. Dengan kata lain manusia tradisional bisa diubah menjadi manusia modren bila dia diterjunkan kedalam lembaga-lembaga kerja yang modren. 

Dari ke enam teori yang ada, teori  pembangunan yang ada ,paling sesuai diterapkan di Negara sedang berkembang adalah teori yang dikemukakan oleh McClelland. Karena teori ini menekankan aspek-aspek pisikologi individu dengan konsep n-Achnya dapat dianggap mewakili aliran ini. Bagi McClelland, mendorong proses pembangunan berarrti membentuk manusia wiraswasta dengan n-Ach yang tinggi. Cara pembentukanya adalah melalui pendidikan individual,ketika mereka ini masih anak-anak di lingkungan keluarga mereka. Kalau manusia wiraswasta ini dapat dibentuk dalam jumlah yamg banyak, proses pembangunan dalam masyarakat tersebut akan menjadi kenyataan. 

Soal Pendidikan Kewarganegaraan

PAI 1.C Bagaimana relevansi pendidikan kewarganegaraan dalam konteks kehidupan bangsa dan Negara Indonesia saat ini? Berikan p...