Dalam diskusi
Badan Litbang Kehutanan tanggal 8 Agustus 2008 yang dihadiri Menteri Kehutanan
H. M.S. Kaban, pakar dari IPB serta Litbang, dibahas berbagai sistem
silvikultur dalam pengelolaan hutan, direkomendasikan penerapan multisistem silvikultur
pada unit pengelolaan hutan produksi (IUPHHK). Diskusi ini akan dilanjutkan
pada tanggal 23 Agustus 2008 di Institut Pertanian Bogor. Multisistem
silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari
dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu IUPHHK dan
merupakan multi usaha. Multisistem silvikultur ini bertujuan untuk
mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. Rekomendasi ini didasarkan
pada Permenhut No. P.30/Menhut-II/2005 yang diperkuat dengan PP. No.3/2008 yang
menyatakan bahwa dalam satu unit pengelolaan hutan produksi, baik dalam bentuk
IUPHHK-HA maupun IUPHHK-HT dapat digunakan lebih dari satu sistem silvikultur
(multisistem silvikultur).
Multisistem
silvikultur merupakan upaya optimalisasi pemanfaatan areal hutan, sehingga
seluruh bagian areal hutan produksi, baik yang berupa hutan alam yang masih
potensial maupun hutan yang sudah rusak, dapat dikelola sesuai dengan sistem
silvikultur yang tepat. Kombinasi beberapa sistem silvikultur ini akan
mempunyai beberapa kelebihan.
Dengan sistem
silvikultur TPTI, hutan alam akan menghasilkan berbagai jenis kayu yang
mempunyai nilai kompetisi tinggi dan sangat aman dari sisi ekologis. Produksi
TPTI merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka panjang. Dengan sistem
TPTJ atau Silin, hutan alam akan menghasilkan kayu yang lebih produktif dan
bernilai tinggi terutama dari hasil tanaman di jalur antara, dan cukup aman
dari aspek ekologi. Produksi dari TPTJ/TPTII/Silin merupakan hasil yang dapat
diperoleh dalam jangka menengah atau sedang. Dengan sistem THPB, hutan yang
rusak dapat direhabilitasi dan ditingkatkan produktifitasnya. Produksi dari
THPB merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka pendek. Keuntungan dari
sisi cashflow, pengelolaan hutan menggunakan multisistem silvikultur akan lebih
ancar sehingga akan lebih menjamin kelayakan usaha dalam bisnis kehutanan.
Jaminan keamanan kawasan hutan juga akan menjadi lebih mantap karena
pengelolaan hutan menjadi optimal dan menyeluruh pada semua bagian hutan.
Keuntungan
multisistem silvikultur pada IUPHHK-HA dari sisi produktifitas, pada areal
hutan alam yang efektif untuk produksi dapat dipilah menjadi areal yang layak
untuk TPTI dan areal yang layak untuk Silin/TPTJ, misalnya 60% untuk TPTI dan
40% untuk Silin/TPTJ. Dibandingkan pada IUPHHK-HA, penggunaan multisistem
silvikultur pada IUPHHK-HT dari sisi produktifitas per-satuan luas tidak
meningkatkan volume kayu yang dapat dimanfaatkan, namun variasi jenis kayu yang
dihasilkan lebih beragam, yaitu dari jenis tanaman yang dikembangkan dan jenis
kayu dari hutan alam.
Ke depan,
masing-masing unit pengelola hutan produksi perlu melakukan penelitian dan
pengembangan yang lebih mendalam agar sesuai dengan kondisi site spesifik areal
hutan yang dikelolanya. Selanjutnya perlu dibuat petunjuk teknis atas
efektifitas peraturan multisistem silvikultur. Bagi IUPHHK yang baru,
pengelolaannya wajib menggunakan mulisistem silvikultur, sedangkan untuk yang
sudah berjalan segera menyusun RKUPHK yang berdasarkan multisistem silvikultur.
Keanehan
dalam pengelolaan hutan di Indonesia telah muncul ketika terbitnya Peraturan
Perundangan-undangan (Perpu) No. 1 Tahun 2004. Perpu tersebut berhasil mencari
celah terhadap Undang-undang No. 41 Tahun 1999 pasal 38 ayat 4 yang melarang
penambangan terbuka di hutan lindung. Pada pasal 83 ayat A dengan jelas
melegalkan kegiatan penambangan terbuka di hutan lindung. Kehadiran Perpu
tersebut telah menghilangkan 71 juta ha lahan hutan. Bahkan Sawit Watch (2008)
mencatat laju kerusakan hutan sepanjang 2005 hingga 2006 mencapai 2,76 juta ha.
Kelahiran
PP No. 2/2008 menarik untuk dilihat dari perspektif ekonomi. Sebagaimana
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa keluarnya PP tersebut bukan
berarti pemerintah memperjualbelikan hutan.
Semangat
dari peraturan itu adalah untuk mengatur perusahaan yang sudah memiliki izin
pertambangan di kawasan hutan wajib memelihara, merehabilitasi, menghutankan,
atau menghijaukan kembali hutan yang rusak akibat penambangan. Menurut
Presiden, kebijakan tersebut merupakan lanjutan dari apa yang dilakukan
pemerintah sebelumnya. Tujuannya agar hutan makin lestari, mendatangkan
penerimaan negara untuk ekonomi, untuk kesejahteraan rakyat.
Namun,
hal ini akan menjadi aneh. Entah teori ekonomi apa yang dianut dan dijalankan
pemerintah, dengan tak menghargai elemen kekayaan alam yang terkandung di perut
bumi serta fungsi hutan lindung. Mestinya pemerintah tidak hanya berharap dari
pungutan hasil tambang, tapi juga menghargai nilai guna tanahnya. Nilai guna
tanah hutan lindung adalah nilai keselamatan rakyat yang jauh lebih mahal
dibandingkan nilai ekonomi.
Berdasar
data Greenomics, Indonesia mendapatkan tarif sewa dari pendapatan negara bukan
pajak (PNBP) untuk 13 perusahaan tambang di hutan lindung itu hanya sebesar Rp
2,78 triliun per tahun. Itu hanya 3,96 persen dari total potensi kerugian yang
akan ditimbulkan akibat aktivitas tambang terbuka yang diperkirakan mencapai
angka Rp 70 triliun per tahun. (Suara Pembaruan, 25 Februari 2008)
Masyarakat dan Hutan Indonesia
Sebelum hadirnya kebijakan PP No.
2/2008, masyarakat hutan Indonesia telah mengalami ketidakberdayaan. Petani
hutan yeng terkelompok dalam komunitas-komunitas adat dan lokal, tidak dapat
berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Padahal kehidupan keseharian para
petani selalu bersinggungan dengan hutan sebagai sumber kayu bakar, tanaman
obat, madu, buah-buahan, padi dan lain-lain. Undang-undang Pokok Kehutanan No.
5 tahun 1967 pun tidak memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat hutan
Indonesia.
Sepertinya akan sulit mencari
catatan tentang kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatur kepentingan petani
hutan. Sebagai contoh, sedari tahun 1980-an masyarakat petani hutan di Padang
Cermin, Lampung Selatan, telah mengusulkan kawasan Gunung Betung untuk
dijadikan kawasan pengelolaan masyarakat namun selalu mendapat penolakan dari
pemerintah daerah maupun pusat (Departemen Kehutanan RI). Beberapa daerah
lainnya, petani hutan terusir dari kawasan tempat hidup. Indonesia sendiri,
memiliki sekitar 1.800 desa yang berbatasan dengan 14 kawasan konservasi di 5
pulau besar di Indonesia.
Konflik-konflik terbuka antara
petani dan petugas kehutanan mencuat sebagai reaksi dan perwujudan kebingungan
masyarakat terhadap tempat hidup mereka. Pengusiran masyarakat adat Moronene di
Nusatenggara dari kawasan hutan, bagaimana lahan dan tanaman kopi petani
dirusak karena petani dianggap masuk ke kawasan hutan konservasi. Masyarakat
adat Lore Lindu di Sulawesi Tengah sudah beberapa kali mengalami
“resettlement”. Masyarakat Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara, ladang-ladang mereka
dibakar aparat kehutanan dan pemerintah karena pokok-pokok pohon jati yang
menggiurkan, sehingga kawasan yang turun-temurun itu diolah masyarakat Kontu
dianggap kawasan lindung yang pengawasannya di bawah kehutanan dan pemerintah
daerah. Dan banyak kasus “resettlement” dilakukan dengan berbagai alasan.
Kondisi memprihatinkan juga terjadi
pada petani hutan di pulau Jawa. Awang (2006) mengemukakan bahwa seorang petani
hutan di pulau Jawa memiliki lahan hanya 0,2 hektar, padahal luas minimum untuk
pemenuhan kebutuhan hidup per-KK (kepala keluarga) di Jawa membutuhkan 0,5
hektar.
Lindung dan Dilindungi
Tarik menarik kepentingan dalam
pengelolaan kawasan hutan di Indonesia telah menimbulkan efek kebingugan.
Esensialnya Departemen Kehutanan (Deptan) melalui UU No. 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan melarang penambangan dengan pola terbuka di kawasan hutan lindung.
Pada ayat 3 dan 4 pasal 38 secara tegas menyebutkan bahwa di kawasan hutan
lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola penambangan terbuka. Pola
pertambangan terbuka dimungkinkan di kawasan hutan produksi dengan ketentuan
khusus dan secara selektif, antara lain melalui pemberian izin pinjam pakai
oleh Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu
tertentu serta kelestarian lingkungan.
Kehadiran pasal tersebut menjadi
begitu penting, mengingat fungsi kawasan lindung dan kawasan konservasi sebagai
sistem penyangga kehidupan. Kerusakan hutan lindung dan kawasan konservasi
berdampak luas, di musim kemarau akan menyebabkan kekeringan, dan di musim
hujan dapat menyebabkan tanah longsor dan banjir, terutama bila curah hujannya
tinggi. Musibah bencana alam tersebut berdampak pula pada menurunnya kegiatan
ekonomi masyarakat dalam waktu yang lebih panjang. Selain itu, limbah
pembuangan dari kegiatan pertambangan dalam jangka panjang sering menjadi
masalah lingkungan yang dampaknya cukup besar.
Kemunculan PP Nomor 2 Tahun 2008 di
awal Februari lalu semakin membuat nasib kehutanan Indonesia di ujung
kehancuran. Semakin banyak investor tertarik untuk mendapat izin pertambangan
karena tidak perlu lagi repot-repot mencari lahan pengganti (konversi) seperti
ketentuan sebelumnya. Mereka cukup membayar kompensasi lahan, yang menurut
perhitungan besarnya Rp 300 per meter persegi untuk setiap tahunnya.
Bencana secara ekologis akan sering
kita jumpai dan bukan hanya itu, benih-benih potensial meluasnya skala konflik
baik konflik vertikal antara rakyat yang bermukim di kawasan dan sekitar hutan
dengan pemerintah dan perusahaan tambang maupun konflik horizontal yang terjadi
diantara rakyat itu sendiri. Dengan demikian kemunculan PP ini akan semakin
menyulitkan keberadaan hak-hak masyarakat adat dan lokal dari sumber daya
hutan. Hal itu karena mekanisme dalam PP memungkinkan negara memakai tangan
besi untuk mengambil alih lahan/hutan adat untuk dikonsesikan sebagai hutan
kelola dengan hak sewa. Kekhawatiran itu sangat tidak berlebihan karena peraturan
perundang-undangan tentang kehutanan memang tidak mengakui hutan-hutan adat
karena semua hutan adalah milik negara. Negara melalui Departemen Kehutanan
(Dephut) bisa mengambil alih sewaktu-waktu hutan adat atas nama undang-undang.
Lalu, masih adakah keyakinan untuk mempertahankan PP No 2/2008? (*)
Pengelolaan
hutan alami di Indonesia
kesadaran untuk memacu pembangunan ekonomi nasional dengan
memanfaatkan sumberdaya alami yang tersedia yaitu migas dan hutan alami.
Sejak saat itu, berdasarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA
Tahun 1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN Tahun 1968) fihak
swasta asing dan dalam negeri diundang berpartisipasi dalam pengelolaan
sumber daya alami termasuk pengelolaan hutan. Negara mengeluarkan Hak
Pengusahaan Hutan yang diubah namanya menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu sejak lahirnya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Sistem
Pengelolaan Hutan produksi
Sistem-sistem
silvikultur di hutan produksi di Indonesia secara umum dikenal dengan nama-nama
sebagai berikut:
Sistem
THPB
Sistem THPB merupakan sistem silvikultur yang paling tua, digunakan
untuk membentuk tegakan hutan tanaman seumur. Pohon-pohon dalam hutan tanaman
seumur, membesar bersamaan dengan ukuran pohon yang hampir seragam sehingga dapat
(tidak harus) dipanen bersamaan dan diremajakan bersamaan lagi.
Sistem ini bisa menghasilkan tanaman yang terdiri atas satu jenis (species)
saja, disebut tegakan monokultur, bisa juga membentuk tegakan tanaman campuran
(multi species). Tegakan hutan tanaman dibangun untuk membudidayakan jenis
tanaman pohon yang diinginkan pasar. Produktivitas ekonomis hutan tanaman bisa
sepuluh kali lebih tinggi daripada produktivitas ekonomis hutan alami. Sebagai
contoh, karena terjepit oleh banyak pohon lain dalam hutan bekas tebang pilih
di hutan alami produksi, pohon-pohon jenis komersial kerapatannya rendah dan
hanya menghasilkan riap 1-2 m³/ha.th. Sedangkan hutan tanaman merantimerah
diperhitungkan dapat mencapai riap 10-15 m³/ha.th. Hutan tanaman sering
membudidayakan jenis-jenis pohon yang dapat cepat membesar (jenis bagur, fast
growing tree species), karena perusahaan yang membudidayakannya ingin
modalnya cepat kembali, dan
labanya
dapat cepat diperoleh. Jenis-jenis hutan tanaman yang umum dijumpai
dibudidayakan di Indonesia adalah: mangium (Acacia mangium), gmelina (Gmelina
arborea), sengon (Falcataria moluccana), mahoni (Swietenia
macrophylla), jati (Tectona grandis), tusam (Pinus merkusii).
Mengapa kawasan bekas tebang habis harus ditanami pohon baru,
bukankah pohon tua selalu berbuah sehingga semai alami terdapat banyak,
murah-meriah? Penanaman memang mahal dan berrisiko gagal, oleh karena itu
kalaulah penanaman ingin dilakukan, maka penanaman yang mahal itu harus
menggunakan bibit unggul hasil program pemuliaan pohon, agar tegakan yang
terbentuk berikutnya adalah tegakan yang lebih produktif atau lebih tahan
risiko gagal. Penanaman setelah tebang habis dilakukan karena dua alasan: (1)
karena ingin mengganti jenis tanaman untuk tujuan tertentu, misalnya untuk
menghasilkan kayu pulp, (2) ingin mengganti klon yang satu dengan klon lainnya
hasil pemuliaan tanaman. Sistem silvikultur THPB terdiri atas perlakuan:
penataan areal kerja, penyiapan lahan, pengadaan benih dan bibit, penanaman,
pemeliharaan tanaman muda, pemeliharaan tegakan, dan pemanenan pohon tua
sekaligus. Pemerintah Indonesia sering menyebut sistem THPB sebagai sistem
silvikultur intensif.
Sistem
THPA
Sistem tebang habis bisa digunakan tanpa penanaman, setelah
diketahui benar bahwa bekas tebang habis tersebut dipenuhi secara merata oleh
semai pohon jenis yang diinginkan. Sistem ini merupakan system silvikultur yang
murah, ekstensif, dan bisa saja menghasilkan produktivitas yang tinggi dari
hasil pembinaan permudaan alami.16 Mungkinkah sistem THPA digunakan di hutan
alami Kalimantan misalnya? Di hutan alami Kalimantan terdapat permudaan alami
jenis komersial dengan kerapatan 5.000-10.000 bt/ha. Dalam sstem THPA, para rimbawan
dapat memilih 100-200 bt/ha pohon binaan untuk dipelihara dengan
sebaik-baiknya, terutama
membebaskan pohon-pohon binaan dari terkaman gulma. Dengan demikian
penerapan sistem THPA di Indonesia sangat memungkinkan. Tetapi sampai saat ini
belum pernah dilakukan.
Sistem
TPTI
Hutan alami fungsi produksi di Indonesia dikelola dengan keinginan
mempertahankan bentuk alaminya sebagai hutan alami campuran tidak seumur, yaitu
berisi keanekaragaman hayati tinggi, dan berisi semai, pancang, tiang dan
pohon. Bentuk hutan demikian hanya dapat dicapai dengan sistem tebang pilih. Hutan
alami produksi diusahakan dengan sistem tebang pilih juga karena alasan
ekonomis sebagai berikut:
(a) hutan
alami berisi pohon kecil dan besar, sedangkan kayu yang laku dijual hanya kayu
berukuran besar saja, sehingga dipanen dengan cara tebang pilih
(b)
hutan alami berisi berratus jenis tumbuhan, sedangkan yang laku dijual hanya
kayu dari beberapa jenis pohon saja, sehingga harus dipanen
dengan cara tebang pilih,
c) hutan alami berisi kayu baik dan kayu cacat karena terlampau tua
dan tidak dipelihara, sedangkan kayu yang laku hanya kayu yang mulus saja,
dengan demikian panen harus menggunakan cara tebang pilih, Sistem tebang pilih
di Indonesia dikeluarkan pemerintah pada tahun 1972 dengan nama Sistem Tebang
Pilih Indonesia (TPI), yang kemudian direvisi isi dan namanya pada
tahun 1989 menjadi Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dan direvisi
lagi pada tahun 1993 dengan nama tetap Sistem TPTI yang masih berlaku sampai
tahun 2005 ini. Sistem TPTI diberlakukan di hutan alami tanah kering, hutan
rawa, hutan rawa gambut, dan hutan eboni.
Sistem
TPTII
Karena hutan alami produksi bekas tebang pilih menjadi sasaran
konversi menjadi lahan perkebunan dan perambahan, maka Departemen Kehutanan
mempromosikan pembangunan hutan tanaman meranti di hutan alami pada tahun 1997.
Tujuan penanaman meranti di hutan alami adalah untuk meningkatkan motivasi
pemilik perusahaan untuk memelihara hutan alami bekas tebangan, dan agar
masyarakat luas sekitar hutan menghormati keberadaan perusahaaan yang menanami
hutannya.
No comments:
Post a Comment