Tuesday, October 9, 2012

TEKNIK PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA


Dalam diskusi Badan Litbang Kehutanan tanggal 8 Agustus 2008 yang dihadiri Menteri Kehutanan H. M.S. Kaban, pakar dari IPB serta Litbang, dibahas berbagai sistem silvikultur dalam pengelolaan hutan, direkomendasikan penerapan multisistem silvikultur pada unit pengelolaan hutan produksi (IUPHHK). Diskusi ini akan dilanjutkan pada tanggal 23 Agustus 2008 di Institut Pertanian Bogor. Multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu IUPHHK dan merupakan multi usaha. Multisistem silvikultur ini bertujuan untuk mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. Rekomendasi ini didasarkan pada Permenhut No. P.30/Menhut-II/2005 yang diperkuat dengan PP. No.3/2008 yang menyatakan bahwa dalam satu unit pengelolaan hutan produksi, baik dalam bentuk IUPHHK-HA maupun IUPHHK-HT dapat digunakan lebih dari satu sistem silvikultur (multisistem silvikultur).
Multisistem silvikultur merupakan upaya optimalisasi pemanfaatan areal hutan, sehingga seluruh bagian areal hutan produksi, baik yang berupa hutan alam yang masih potensial maupun hutan yang sudah rusak, dapat dikelola sesuai dengan sistem silvikultur yang tepat. Kombinasi beberapa sistem silvikultur ini akan mempunyai beberapa kelebihan.
Dengan sistem silvikultur TPTI, hutan alam akan menghasilkan berbagai jenis kayu yang mempunyai nilai kompetisi tinggi dan sangat aman dari sisi ekologis. Produksi TPTI merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka panjang. Dengan sistem TPTJ atau Silin, hutan alam akan menghasilkan kayu yang lebih produktif dan bernilai tinggi terutama dari hasil tanaman di jalur antara, dan cukup aman dari aspek ekologi. Produksi dari TPTJ/TPTII/Silin merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka menengah atau sedang. Dengan sistem THPB, hutan yang rusak dapat direhabilitasi dan ditingkatkan produktifitasnya. Produksi dari THPB merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka pendek. Keuntungan dari sisi cashflow, pengelolaan hutan menggunakan multisistem silvikultur akan lebih ancar sehingga akan lebih menjamin kelayakan usaha dalam bisnis kehutanan. Jaminan keamanan kawasan hutan juga akan menjadi lebih mantap karena pengelolaan hutan menjadi optimal dan menyeluruh pada semua bagian hutan.
Keuntungan multisistem silvikultur pada IUPHHK-HA dari sisi produktifitas, pada areal hutan alam yang efektif untuk produksi dapat dipilah menjadi areal yang layak untuk TPTI dan areal yang layak untuk Silin/TPTJ, misalnya 60% untuk TPTI dan 40% untuk Silin/TPTJ. Dibandingkan pada IUPHHK-HA, penggunaan multisistem silvikultur pada IUPHHK-HT dari sisi produktifitas per-satuan luas tidak meningkatkan volume kayu yang dapat dimanfaatkan, namun variasi jenis kayu yang dihasilkan lebih beragam, yaitu dari jenis tanaman yang dikembangkan dan jenis kayu dari hutan alam.
Ke depan, masing-masing unit pengelola hutan produksi perlu melakukan penelitian dan pengembangan yang lebih mendalam agar sesuai dengan kondisi site spesifik areal hutan yang dikelolanya. Selanjutnya perlu dibuat petunjuk teknis atas efektifitas peraturan multisistem silvikultur. Bagi IUPHHK yang baru, pengelolaannya wajib menggunakan mulisistem silvikultur, sedangkan untuk yang sudah berjalan segera menyusun RKUPHK yang berdasarkan multisistem silvikultur.

Keanehan dalam pengelolaan hutan di Indonesia telah muncul ketika terbitnya Peraturan Perundangan-undangan (Perpu) No. 1 Tahun 2004. Perpu tersebut berhasil mencari celah terhadap Undang-undang No. 41 Tahun 1999 pasal 38 ayat 4 yang melarang penambangan terbuka di hutan lindung. Pada pasal 83 ayat A dengan jelas melegalkan kegiatan penambangan terbuka di hutan lindung. Kehadiran Perpu tersebut telah menghilangkan 71 juta ha lahan hutan. Bahkan Sawit Watch (2008) mencatat laju kerusakan hutan sepanjang 2005 hingga 2006 mencapai 2,76 juta ha.
Kelahiran PP No. 2/2008 menarik untuk dilihat dari perspektif ekonomi. Sebagaimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa keluarnya PP tersebut bukan berarti pemerintah memperjualbelikan hutan.
Semangat dari peraturan itu adalah untuk mengatur perusahaan yang sudah memiliki izin pertambangan di kawasan hutan wajib memelihara, merehabilitasi, menghutankan, atau menghijaukan kembali hutan yang rusak akibat penambangan. Menurut Presiden, kebijakan tersebut merupakan lanjutan dari apa yang dilakukan pemerintah sebelumnya. Tujuannya agar hutan makin lestari, mendatangkan penerimaan negara untuk ekonomi, untuk kesejahteraan rakyat.
Namun, hal ini akan menjadi aneh. Entah teori ekonomi apa yang dianut dan dijalankan pemerintah, dengan tak menghargai elemen kekayaan alam yang terkandung di perut bumi serta fungsi hutan lindung. Mestinya pemerintah tidak hanya berharap dari pungutan hasil tambang, tapi juga menghargai nilai guna tanahnya. Nilai guna tanah hutan lindung adalah nilai keselamatan rakyat yang jauh lebih mahal dibandingkan nilai ekonomi.
Berdasar data Greenomics, Indonesia mendapatkan tarif sewa dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP) untuk 13 perusahaan tambang di hutan lindung itu hanya sebesar Rp 2,78 triliun per tahun. Itu hanya 3,96 persen dari total potensi kerugian yang akan ditimbulkan akibat aktivitas tambang terbuka yang diperkirakan mencapai angka Rp 70 triliun per tahun. (Suara Pembaruan, 25 Februari 2008)

Masyarakat dan Hutan Indonesia

Sebelum hadirnya kebijakan PP No. 2/2008, masyarakat hutan Indonesia telah mengalami ketidakberdayaan. Petani hutan yeng terkelompok dalam komunitas-komunitas adat dan lokal, tidak dapat berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Padahal kehidupan keseharian para petani selalu bersinggungan dengan hutan sebagai sumber kayu bakar, tanaman obat, madu, buah-buahan, padi dan lain-lain. Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967 pun tidak memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat hutan Indonesia.
Sepertinya akan sulit mencari catatan tentang kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatur kepentingan petani hutan. Sebagai contoh, sedari tahun 1980-an masyarakat petani hutan di Padang Cermin, Lampung Selatan, telah mengusulkan kawasan Gunung Betung untuk dijadikan kawasan pengelolaan masyarakat namun selalu mendapat penolakan dari pemerintah daerah maupun pusat (Departemen Kehutanan RI). Beberapa daerah lainnya, petani hutan terusir dari kawasan tempat hidup. Indonesia sendiri, memiliki sekitar 1.800 desa yang berbatasan dengan 14 kawasan konservasi di 5 pulau besar di Indonesia.
Konflik-konflik terbuka antara petani dan petugas kehutanan mencuat sebagai reaksi dan perwujudan kebingungan masyarakat terhadap tempat hidup mereka. Pengusiran masyarakat adat Moronene di Nusatenggara dari kawasan hutan, bagaimana lahan dan tanaman kopi petani dirusak karena petani dianggap masuk ke kawasan hutan konservasi. Masyarakat adat Lore Lindu di Sulawesi Tengah sudah beberapa kali mengalami “resettlement”. Masyarakat Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara, ladang-ladang mereka dibakar aparat kehutanan dan pemerintah karena pokok-pokok pohon jati yang menggiurkan, sehingga kawasan yang turun-temurun itu diolah masyarakat Kontu dianggap kawasan lindung yang pengawasannya di bawah kehutanan dan pemerintah daerah. Dan banyak kasus “resettlement” dilakukan dengan berbagai alasan.
Kondisi memprihatinkan juga terjadi pada petani hutan di pulau Jawa. Awang (2006) mengemukakan bahwa seorang petani hutan di pulau Jawa memiliki lahan hanya 0,2 hektar, padahal luas minimum untuk pemenuhan kebutuhan hidup per-KK (kepala keluarga) di Jawa membutuhkan 0,5 hektar.
Lindung dan Dilindungi
Tarik menarik kepentingan dalam pengelolaan kawasan hutan di Indonesia telah menimbulkan efek kebingugan. Esensialnya Departemen Kehutanan (Deptan) melalui UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan melarang penambangan dengan pola terbuka di kawasan hutan lindung. Pada ayat 3 dan 4 pasal 38 secara tegas menyebutkan bahwa di kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola penambangan terbuka. Pola pertambangan terbuka dimungkinkan di kawasan hutan produksi dengan ketentuan khusus dan secara selektif, antara lain melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
Kehadiran pasal tersebut menjadi begitu penting, mengingat fungsi kawasan lindung dan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan. Kerusakan hutan lindung dan kawasan konservasi berdampak luas, di musim kemarau akan menyebabkan kekeringan, dan di musim hujan dapat menyebabkan tanah longsor dan banjir, terutama bila curah hujannya tinggi. Musibah bencana alam tersebut berdampak pula pada menurunnya kegiatan ekonomi masyarakat dalam waktu yang lebih panjang. Selain itu, limbah pembuangan dari kegiatan pertambangan dalam jangka panjang sering menjadi masalah lingkungan yang dampaknya cukup besar.
Kemunculan PP Nomor 2 Tahun 2008 di awal Februari lalu semakin membuat nasib kehutanan Indonesia di ujung kehancuran. Semakin banyak investor tertarik untuk mendapat izin pertambangan karena tidak perlu lagi repot-repot mencari lahan pengganti (konversi) seperti ketentuan sebelumnya. Mereka cukup membayar kompensasi lahan, yang menurut perhitungan besarnya Rp 300 per meter persegi untuk setiap tahunnya.
Bencana secara ekologis akan sering kita jumpai dan bukan hanya itu, benih-benih potensial meluasnya skala konflik baik konflik vertikal antara rakyat yang bermukim di kawasan dan sekitar hutan dengan pemerintah dan perusahaan tambang maupun konflik horizontal yang terjadi diantara rakyat itu sendiri. Dengan demikian kemunculan PP ini akan semakin menyulitkan keberadaan hak-hak masyarakat adat dan lokal dari sumber daya hutan. Hal itu karena mekanisme dalam PP memungkinkan negara memakai tangan besi untuk mengambil alih lahan/hutan adat untuk dikonsesikan sebagai hutan kelola dengan hak sewa. Kekhawatiran itu sangat tidak berlebihan karena peraturan perundang-undangan tentang kehutanan memang tidak mengakui hutan-hutan adat karena semua hutan adalah milik negara. Negara melalui Departemen Kehutanan (Dephut) bisa mengambil alih sewaktu-waktu hutan adat atas nama undang-undang. Lalu, masih adakah keyakinan untuk mempertahankan PP No 2/2008? (*)

Pengelolaan hutan alami di Indonesia
kesadaran untuk memacu pembangunan ekonomi nasional dengan memanfaatkan sumberdaya alami yang tersedia yaitu migas dan hutan alami. Sejak saat itu, berdasarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA Tahun 1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN Tahun 1968) fihak swasta asing dan dalam negeri diundang berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya alami termasuk pengelolaan hutan. Negara mengeluarkan Hak Pengusahaan Hutan yang diubah namanya menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu sejak lahirnya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Sistem Pengelolaan Hutan produksi
Sistem-sistem silvikultur di hutan produksi di Indonesia secara umum dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:           

Sistem THPB
Sistem THPB merupakan sistem silvikultur yang paling tua, digunakan untuk membentuk tegakan hutan tanaman seumur. Pohon-pohon dalam hutan tanaman seumur, membesar bersamaan dengan ukuran pohon yang hampir seragam sehingga dapat (tidak harus) dipanen bersamaan dan diremajakan bersamaan lagi. Sistem ini bisa menghasilkan tanaman yang terdiri atas satu jenis (species) saja, disebut tegakan monokultur, bisa juga membentuk tegakan tanaman campuran (multi species). Tegakan hutan tanaman dibangun untuk membudidayakan jenis tanaman pohon yang diinginkan pasar. Produktivitas ekonomis hutan tanaman bisa sepuluh kali lebih tinggi daripada produktivitas ekonomis hutan alami. Sebagai contoh, karena terjepit oleh banyak pohon lain dalam hutan bekas tebang pilih di hutan alami produksi, pohon-pohon jenis komersial kerapatannya rendah dan hanya menghasilkan riap 1-2 m³/ha.th. Sedangkan hutan tanaman merantimerah diperhitungkan dapat mencapai riap 10-15 m³/ha.th. Hutan tanaman sering membudidayakan jenis-jenis pohon yang dapat cepat membesar (jenis bagur, fast growing tree species), karena perusahaan yang membudidayakannya ingin modalnya cepat kembali, dan
labanya dapat cepat diperoleh. Jenis-jenis hutan tanaman yang umum dijumpai dibudidayakan di Indonesia adalah: mangium (Acacia mangium), gmelina (Gmelina arborea), sengon (Falcataria moluccana), mahoni (Swietenia macrophylla), jati (Tectona grandis), tusam (Pinus merkusii).
Mengapa kawasan bekas tebang habis harus ditanami pohon baru, bukankah pohon tua selalu berbuah sehingga semai alami terdapat banyak, murah-meriah? Penanaman memang mahal dan berrisiko gagal, oleh karena itu kalaulah penanaman ingin dilakukan, maka penanaman yang mahal itu harus menggunakan bibit unggul hasil program pemuliaan pohon, agar tegakan yang terbentuk berikutnya adalah tegakan yang lebih produktif atau lebih tahan risiko gagal. Penanaman setelah tebang habis dilakukan karena dua alasan: (1) karena ingin mengganti jenis tanaman untuk tujuan tertentu, misalnya untuk menghasilkan kayu pulp, (2) ingin mengganti klon yang satu dengan klon lainnya hasil pemuliaan tanaman. Sistem silvikultur THPB terdiri atas perlakuan: penataan areal kerja, penyiapan lahan, pengadaan benih dan bibit, penanaman, pemeliharaan tanaman muda, pemeliharaan tegakan, dan pemanenan pohon tua sekaligus. Pemerintah Indonesia sering menyebut sistem THPB sebagai sistem silvikultur intensif.

Sistem THPA
Sistem tebang habis bisa digunakan tanpa penanaman, setelah diketahui benar bahwa bekas tebang habis tersebut dipenuhi secara merata oleh semai pohon jenis yang diinginkan. Sistem ini merupakan system silvikultur yang murah, ekstensif, dan bisa saja menghasilkan produktivitas yang tinggi dari hasil pembinaan permudaan alami.16 Mungkinkah sistem THPA digunakan di hutan alami Kalimantan misalnya? Di hutan alami Kalimantan terdapat permudaan alami jenis komersial dengan kerapatan 5.000-10.000 bt/ha. Dalam sstem THPA, para rimbawan dapat memilih 100-200 bt/ha pohon binaan untuk dipelihara dengan sebaik-baiknya, terutama
membebaskan pohon-pohon binaan dari terkaman gulma. Dengan demikian penerapan sistem THPA di Indonesia sangat memungkinkan. Tetapi sampai saat ini belum pernah dilakukan.

Sistem TPTI
Hutan alami fungsi produksi di Indonesia dikelola dengan keinginan mempertahankan bentuk alaminya sebagai hutan alami campuran tidak seumur, yaitu berisi keanekaragaman hayati tinggi, dan berisi semai, pancang, tiang dan pohon. Bentuk hutan demikian hanya dapat dicapai dengan sistem tebang pilih. Hutan alami produksi diusahakan dengan sistem tebang pilih juga karena alasan ekonomis sebagai berikut:
(a) hutan alami berisi pohon kecil dan besar, sedangkan kayu yang laku dijual hanya kayu berukuran besar saja, sehingga dipanen dengan cara tebang pilih
(b) hutan alami berisi berratus jenis tumbuhan, sedangkan yang laku dijual hanya kayu dari beberapa jenis pohon saja, sehingga harus dipanen dengan cara tebang pilih,
c) hutan alami berisi kayu baik dan kayu cacat karena terlampau tua dan tidak dipelihara, sedangkan kayu yang laku hanya kayu yang mulus saja, dengan demikian panen harus menggunakan cara tebang pilih, Sistem tebang pilih di Indonesia dikeluarkan pemerintah pada tahun 1972 dengan nama Sistem Tebang
Pilih Indonesia (TPI), yang kemudian direvisi isi dan namanya pada tahun 1989 menjadi Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dan direvisi lagi pada tahun 1993 dengan nama tetap Sistem TPTI yang masih berlaku sampai tahun 2005 ini. Sistem TPTI diberlakukan di hutan alami tanah kering, hutan rawa, hutan rawa gambut, dan hutan eboni.

Sistem TPTII
Karena hutan alami produksi bekas tebang pilih menjadi sasaran konversi menjadi lahan perkebunan dan perambahan, maka Departemen Kehutanan mempromosikan pembangunan hutan tanaman meranti di hutan alami pada tahun 1997. Tujuan penanaman meranti di hutan alami adalah untuk meningkatkan motivasi pemilik perusahaan untuk memelihara hutan alami bekas tebangan, dan agar masyarakat luas sekitar hutan menghormati keberadaan perusahaaan yang menanami hutannya.

No comments:

Soal Pendidikan Kewarganegaraan

PAI 1.C Bagaimana relevansi pendidikan kewarganegaraan dalam konteks kehidupan bangsa dan Negara Indonesia saat ini? Berikan p...