Tuesday, October 9, 2012

PERNIKAHAN BEDA AGAMA


Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membantu suatu keluarga atau rumah tangga. 
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dilakukan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hokum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hokum sangat penting bagi seseorang, karena menyangkut dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agama masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak bisa dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antara agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hokum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi social diantara seluruh warga Negara Indonesia yang pluralis agamanya.
Perkawinan adalah sah apabila menurut hokum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Perkawinan beda agama bisa diterima karena dapat mempererat kekerabatan antara satu agama dengan agama lain. Namun pada kenyataannya keadaan tersebut kurang adanya suatu penerimaan yang baik. Suatu perkawinan antara dua orang yang menganut agama yang sama tidak akan menimbulkan masalah, sebaliknya kedua calon suami istri yang menganut agama yang berbeda dan tetap mempertahankan agamanya masing-masing maka keadaan ini akan menimbulkan masalah, permasalahan-permasalahan yang biasanya muncul dalam perkawinan beda agama antara lain bagaimanakah proses penyesuaian diri terhadap perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam keluarga, apakah UU perkawinan memperbolehkan perkawinan beda agama yang hanya dilakukan (dicatat) dikantor catatan sipil sudah sah atau tidak, bagaimanakah menentukan agama bagi anak-anaknya nanti, dan pasangan beda agama yang akan menikah pada umumnya merasa ragu dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik dalam membina keluarganya kelak, juga persepsi masyarakat tentang perkawinannya yang berbeda agama. Semua kesepakatan sebelum melakukan perkawinan beda agama harus tercapai sehingga stress dan konflik yang mungkin tercapai sendiri mungkin dapat dihindari.
Ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda agama:
1.      Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti penyelundupan hukum, karena sesuangguhnya yang terjadi adalah hanya menyiasati secara hokum ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memelik agamanya masing-masing, cara ini sangat tidak disarankan.
2.      Berdasarkan putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 kantor catatan sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.

   Perkawinan
Undang-undang  Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menurut Departemen Agama Republik Indonesia menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.
Perkawinan merupakan pertalian hokum sebagai perrtahanan yang sah untuk jangka waktu selama mungkin antara pria dan wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan (dalam Tajudin, 1990) sementara itu Kartono, (1992) menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu peristiwa sepasang mempelai atau sepasang calon suami istri dipertemukan secara formal dihadapan penghulu atau kepada agama tertentu, saksi dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi sebagai suami istri dengan upacara-upacara dan ritual-ritual tertentu.
Mahkota (1993) menyebutkan bahwa perkawinan adalah bertemunya dua manusia berlainan jenis kelamin, pria dan wanita yang diwujudkan dalam kesatuan, kebersamaan wadah bersatu dan merupakan dwi tunggal bagi pria dan wanita yang harus dijalani secara nyata serta penuh tanggung jawab.
Para ahli mengemukakan pengertian perkawinan yang ditinjaunya didasarkan pada agama yang diakuinya di Indonesia yaitu:
  1. Agama Islam, Siddik (1983) menyatakan perkawinan adalah pertalian sah antara seorang laki-laki dengan perempuan yang hidup bersama atau (bersetubuh) yang tujuannya membentuk keluarga dan mewujudkan keturunan, serta mencegah perzinaan, dan menjaga ketentraman jiwa.
  2. Agama Katholik, menurut Kanon (dalam Martosudjito, 1985) menetapkan bahwa menurut hokum gereja perkawinan adalah perjanjian suci antara pria dan wanita untuk membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami istri serta pada kelahiran dan pendidikan anak.
  3. Agama Protestan, dikemukakan pendapat dari Tanya (1987) menyatakan nikah adalah suatu persekutuan badaniah dan rohaniah yang distabilkan (ordeined) Allah untuk suatu tujuan yang mulia dihadapan-Nya dan oleh sebab itu tidak boleh dipisahkan oleh tangan manusia.
  4. Agama Hindu, berdasarkan Kitab Manusiruriti (dalam Pudja, 1975) dinyatakan bahwa perkawinan bersifat religius dan obligatoir sifatnya karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang Putra (Putra yang menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put).
  5. Agama Budha, berdasarkan keputusan-keputusan Sangha Agung Indonesia tentang hukum perkawinan, tata cara perkawinan dan tata cara kematian menurut hokum Budha, yang dikutip oleh Soeantrapaja (1989), bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri yang berdasarkan pada cinta kasih (metta), kasih saying (Karuna) dan rasa sepenanggungan (Rumah Tangga) yang bahagia diberkahi oleh Sang Hyang Adi Budha atau Tuhan Yang Maha Esa, 
 Dari berbagai rumusan tentang pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan, para ahli dan agama-agama yang diakui di Indonesia ternyata berbeda satu sama lain sebagai akibat dari perbedaan segi pandang mereka. Berdasarkan definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan pada dasarnya merupakan perpaduan antara dua orang individu yang berlainan jenis (pria dan wanita) dalam suatu ikatan kesepakatan, perjanjian atau persetujuan secara lahir batin disahkan menurut UU, hokum, agama, dan kepercayaannyadengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 Pengertian Perkawinan
Keluarga terbentuk jika terdapat ikatan perkawinan antar pria dan wanita. Artinya dalam sebuah perkawinan terdapat dua individu yang berbeda jenis, serta cirri-ciri kepribadiaannya yang mengikatkan diri secara sah menurut hokum dan aturan yang berlaku dan selanjutnya hidup bersama. Menurut pendapat Pyah (2000) keluarga merupakan suatu ikatan antara orang tua dan anak  yang satu sama lain memerlukan cinta, perhatian, dan kasih saying.
Berdasarkan beberapa pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah kumpulan orang yang bertempat tinggal bersama yang satu sama lain memerlukan perhatian dan kasih sayang serta terikat oleh perkawinan yang sahmenurut hukum dan agama, keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak..

Tujuan Perkawinan
Perkawinan sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi setiap orang mempunyai tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi atau latar belakang terjadinya perkawinan tersebut. Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Antara suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing pasangan dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan spiritual. Suatu perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dapat diartikan bahwa perkawinan itu harus berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja sehingga pemutusan suatu perkawinan karena sebab lain dari kematian diberikan pembatasan yang cukup ketat.Tujuan utama suatu perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan (anak) karena keluarga yang bahagia dan kekal erat kaitannya dengan keturunan sehingga kehidupan suami istri dan rumah tangga akan memperoleh ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan.
Tujuan Perkawinan menurut agama-agama yang diakui di Indonesia yaitu:
  1. Agama Islam, menurut pendapat Ichsan (1987) bahwa tujuan perkawinan sebagai perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.
  2. Agama Katholik, menurut pendapat dari Konigsmann (1987) menyatakan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk mendapatkan anak dan hak atas persetubuhan betul yang sesuai dengan isi perjanjian perkawinan.
  3. Agama Protestan, menurut pendapat dari Tanya (1987) mengemukakan melalui nikah, maka mukjizat penciptaan kehidupan dapat berkesinambungan, dua orang menjadi satu dalam suatu ikatan hidup baru. Hal inilah pemenuhan tujuan nikah diantara dua orang yang saling mencintai dan memperoleh keturunan hanyalah salah satu segi dari tujuan nikah. Segi ini adalah penting dalam kehidupan itu sendiri.
  4. Agama Hindu, menurut pendapat dari Pudja (1975) menyatakan bahwa tujuan utama dari perkawinan adalah untuk memperoleh anak (putera) yang dapat menyelamatkan keluarganya dari neraka yang disebut neraka Put.
  5. Agama Budha, dalam hal ini akan dikemukakan nasehat perkawinan agama Budha yang dikutip dari buku Nasehat Perkawinan Agama Budha, Departemen agama RI bahwa tujuan perkawinan adalah mencapai rumah tangga dan keluarga yang bahagia.Agar hal ini dapat tercapai, maka pasangan suami istri harus memiliki keyakinan (Sudda) yang sebanding, tat susila (Sila) yang sebanding dan kebijaksanaan (Panna) yang sebanding. Namun dalam suatu perkawinan tidak semua pasangan suami istri akan mencapai kebahagiaan, mengingat ada pula perkawinan yang tidak membahagiakan.
 Dalam pembahasan mengenai tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan dan ajaran-ajaran agama yang ada di Indonesia walaupun kelihatannya berbeda satu sama lain tetapi pada prinsipnya dalam beberapa hal mempunyai persamaan. Sama-sama membentuk keluarga menurut ketentuan hukum agama atau syari’at, untuk memperoleh keturunan (anak) dan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal serta tidak berakhir dengan perceraian.

 Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama terjadi apabila seorang pria dan wanita yang berbeda agama melakukan perkawinan dengan tetap mempertahankan agama masing-masing. Perkawinan beda agama menurut Abdurrahman (1978) adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut Rusli dan Tama (1986) perkawinan beda agama merupakan ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.Mandra dan Artadi (1988) menyatakan perkawinan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaan agamanya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Dari definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan beda agama adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.

Pandangan Agama-agama Tentang Perkawinan Beda Agama
Terrjadinya perkawinan beda agama membawa pandangan sendiri-sendiri bagi agama-agama yang ada di Indonesia yaitu:
  1. Pandangan agama Islam, pada prinsipnya agama islam tidak memperkenankannya. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 221 dengan tegas melarang perkawinan antara orang Islam dengan orang Musyrik. Akan tetapi dalam pengertian antara penganut agama Islam dan bukan agama Islam, hanya bagi laki-laki Islam dengan wanita ahli kitab (Katholik dan Protestan) saja yang dibolehkan. Perkawinan ini pun baru dapat dilaksanakan bila mempelai laki-laki yang Islam benar-benar dominan tidak tergoda untuk mengikuti agama istrinya dan mampu untuk mendidik anak-anaknya menjadi muslim. Sebaliknya hukum islam melarang perkawinan antara wanita yang beragama Islam dengan laki-laki yang bukan Islam disebabkan karena wanita Islam dalam suatu perkawinan berada dibawah kekuasaan suaminya, maka dikawatirkan wanita Islam itu akan murtad dari agama Islam dan mengikuti agama suaminya.
  2. Pandangan agama Katholik, salah satu halangan yang mengakibatkan perkawinan tidak sah yaitu perbedaan agama. Bagi Gereja Katholik menganggap bahwa perkawinan antara seorang yang beragama Katholik dengan yang bukan Katholik dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik dianggap tidak sah dan tidak ideal. Menurut pandangan agama Katholik bahwa setiap perkawinan termasuk perkawinan antar agama (dan salah satunya bukan Katholik) hanya dianggap sah apabila dilakukan dihadapan Uskup, Pastor Paroki, Imam. Hal ini dapat dimmaklumi karean agama Katholik memandang perkawinan sebagai suatu sakralmen, sehingga kalau ada perkawinan antar agama (salah satu pihak Katholik) dan tidak dilakukan menurut agama Katholik maka perkawinan itu dianggap tidak sah.
  3. Pandangan agama Protestan, pada prinsipnya agama protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama. Hal ini disebabkan tujuan utama perkawinan itu untuk mencari kebahagiaan. Kebahagiaan akan sulit tercapai kalau suami dan istri tidak seiman. Walaupun demikian agama Protestan tidak melarang penganutnya untuk kawin dengan orang yang tidak beragama Protestan. Gereja Protestan memberikan kebebasan kepada penganutnya untuk memilih apakah hanya menikah Kantor Catatan Sipil atau diberkati di gereja atau mengikuti agama dari calon suami atau istri. Hal ini disebabkan karena gereja Protestan pada umumnya mengakui sahnya perkawinan menurut adapt atau pun agama yang bukan Protestan.
  4. Pandangan agama Hindu, menurut Pudja (1975), suatu perkawinan batal karena tidak memenuhi syarat bila perkawinan itu dilakukan menurut Hukum Hindu tetapi tidak memenuhi syarat untuk pengesahannya. Misalnya mereka tidak menganut agama yang sama pada saat upacara perkawinan dilakukan menurut hukum agama Hindu. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu maka wajib disucikan sebagai penganut agama Hindu karena kalau calon mempelai yang bukan hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan akan melanggar ketentuan dalam Seloka V – 89 Kitab Manawadharmasastra. Perkawinan antar agama dimana salah satu calon mempelai beragama Hindu tidak dibolehkan dan Pedande atau Pendeta menolak untuk mengesahkan perkawinan tersebut.
  5. Pandangan agama Budha, perkawinan antar agama yang salah seorang mempelai mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan. Asala pengesahan perkawinannya dilakukan menurut tata cara agama Budha. Calon mempelai yang tidak beragama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “Atas Nama Sang Budha. Dharma dan Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha. Agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi kalau ada perkawinan antara penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha.

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan adanya larangan dari agama-agama tertentu terhadap penganutnya untuk mengadakan perkawinan dengan agama lain yaitu agama Islam, Katholik, dan Hindu. Akan tetapi ada juga agama yang membolehkan penganutnya melakukan perkawinan beda agama dengan segala ketentuannya yaitu agama Budha dan Protestan.

Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama
Undang-undang Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Akibatnya dalam pelaksanaan perkawinan beda agama selalu mengalami kesulitan dan akan timbul perbedaan penafsiran tentang bagaimana cara pelaksanaan dan pencatatan perkawinan beda agama. Kesulitan yang sering dijumpai yaitu kedua calon mempelai tidak ada yang bersedia untuk beralih agama atau menundukkan diri pada hukum agama suami atau istrinya pada saat perkawinan dilangsungkan. Mengatasi kesulitan ini bias saja masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya dan perkawinan hanya dilakukan di Kantor Catatan Sipil.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa macam-macam cara pelaksanaan perkawinan beda agama sebagai berikut:
  1. Salah satu pihak beralih agama mengikuti agama suami atau istri. Calon istri beralih agama mengikuti agama calon suaminya atau sebaliknya. Ada beberapa pasangan yang melangsungkan perkawinan, salah satu pihak telah beralih mengikuti agama suami atau istrinya akan tetapi beberapa waktu kemudian pihak yang tadinya beralih agama lalu kembali kepada agama yang dianut sebelumnya. Sebenarnya ada penyelundupan hukum, untuk mengadakan perkawinan maka salah satu pihak secara pura-pura beralih agama namun setelah berlangsungnya perkawinan maka beralih kembali kepada agama yang dianut sebelumnya.
  2. Salah satu pihak menundukkan diri pada hukum agama suami atau istri. Kedua calon suami istri masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya, akan tetapi pada saat perkawinan dilangsungkan salah satu pihak harus menundukkan diri pada hukum agama suami atau istri baru perkawinan dapat dilangsungkan. Penundukan diri ini bias terjadi istri mengikuti hukum agama suami atau sebaliknya. Dari pada peralihan agama itu dilakukan secara pura-pura lebih baik salah satu pihak menundukkan diri pada hukum agama suami istri pada saat perkawinan berlangsung.
  3. Perkawinan hanya dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Pwerkawinan hanya dilakukan di Kantor Catatan Sipil artinya kedua calon suami istri tetap mempertahankan agama yang dianutnya sehingga hanya dilakukan perkawinan sipil. Perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh suami istri. Lebih tepat dikatakan bahwa Kantor Catatan Sipil hanya berfungsi sebagai suatu istansi yang hanya meresmikan perkawinan kedua alon suami istri.
 Pengertian Keluarga
Keluarga sangat penting artinya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak karena keluarga adalah fungsi lingkungan yang pertama kali dikenal oleh anak sejak dilahirkan. Menurut Sumarni (1997) fungsi keluarga adalah untuk membentuk perkembangan psikologis anak, tempat untuk bertukar pikiran dan sebagai media konsultasi antara anggota keluarga. Sementara itu Mears dan Gatchels (dalam Sholihatun, 1998) menjelaskan adanya empat fungsi keluarga meskipun tidak membedakan fungsi-fungsi tersebut, menurut perspektif anak ataupun orang tua, tapi dari masing-masing fungsi tersebut dapat dipahami fungsi yang ditujukan untuk orang tua dan anak.

Fungsi keluarga
Keluarga sangat penting artinya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak karena keluarga adalah fungsi lingkungan yang pertama kali dikenal oleh anak sejak dilahirkan. Menurut Sumarni (1997) fungsi keluarga adalah untuk membentuk perkembangan psikologis anak, tempat untuk bertukar pikiran dan sebagai media konsultasi antara anggota keluarga, sementara itu Mears dan Gatchels (dalam Sholihatun, 1998) menjelaskan adanya empat funsi keluarga meskipun tidak membedakan fungsi-fungsi tersebut, menurut perspektif anak ataupun orang tua, tapi dari masing-masing fungsi tersebut dapat dipahami fungsi yang ditujukan untuk orang tua dan anak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa fungsi keluarga yang paling utama bagi anak yang merupakan sumber identifikasi dalam berperilaku, memberikan perlindungan baik fisik maupun psikis.





















No comments:

Soal Pendidikan Kewarganegaraan

PAI 1.C Bagaimana relevansi pendidikan kewarganegaraan dalam konteks kehidupan bangsa dan Negara Indonesia saat ini? Berikan p...